UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Pendahuluan
Hak asasi
manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati,
universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri,
hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh
siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No.
XVII/MPR/1998.
Konsep hak
asasi manusia sebagai hak yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus
dihormati dan dilindungi, pada awalnya tumbuh pada tataran nasional di Inggris,
Amerika Serikat (AS), dan Perancis pada abad ke-17 dan 18. Hal itu terbukti
dengan dikeluarkannya Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris, Virginia
Declaration of Rights dan Declaration of Independence pada tahun
1776 di AS, Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen pada tahun
1789 di Perancis, dan Bill of Rights pada tahun 1791 di AS.
Instrumen-instrumen nasional ini menetapkan pokok-pokok yang sekarang dikenal
sebagai human rights (hak asasi manusia).
Pada abad
ke-19 dan dasawarsa awal abad ke-20, konsep hak asasi manusia (HAM) mulai
berkembang di tataran internasional.Konsep ini sudah mulai dianut oleh
komunitas bangsa-bangsa dalam melakukan hubungan di antara mereka. Upaya
komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan dan penghormatan HAM
mencapai kulminasinya pada tanggal 10 Desember 1948 dengan diterima dan
diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
Deklarasi ini menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui dan
dihormati serta kewajiban setiap orang untuk dipenuhi.
Walaupun
terlambat, lima puluh tahun setelah PBB memproklamasikan UDHR, lahirnya Tap MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan tonggak sejarah yang strategis dalam
bidang HAM di Indonesia.Tenggang waktu setengah abad yang dirasa cukup lama
menunjukkan bahwa betapa rumitnya bangsa ini dalam mengadopsi dan menyesuaikan
nilai-nilai universal dengan nilai-nilai mengenai HAM yang sudah dianut.
Terbentuknya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 mendapat
tanggapan positif dari berbagai kalangan di Indonesia, terbukti dengan
banyaknya laporan dari masyarakat kepada Komnas HAM sehubungan banyaknya
pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Hal ini di satu sisi menunjukkan
betapa besarnya perhatian bangsa Indonesia terhadap penegakan HAM, namun di
sisi lain menunjukkan pula betapa prihatinnya bangsa Indonesia terhadap
pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di negeri ini.
Makna
dan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Dalam
sejarahnya, bangsa Indonesia terlahir dari suatu bangsa yang terjajah selama
350 tahun yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.Oleh karenanya, bangsa
Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sangat menentang
segala bentuk penjajahan di atas dunia sebagai implementasi penghormatan
terhadap HAM.Dalam batang tubuh UUD 1945 juga dimuat beberapa pasal sebagai
implementasi HAM. Kemudian, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS
1950 memuat secara rinci ketentuan-ketentuan tentang HAM.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Tap MPRS No.XIV/1966 membentuk
panitia ad hoc untuk menyiapkan rancangan piagam HAM dan hak-hak serta
kewajiban warga negara.Pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, rancangan itu tidak
dibahas dengan maksud agar rancangan tersebut dibahas oleh MPR hasil
Pemilu.Dalam beberapa kali sidang MPR pada era Orde Baru, tidak pernah diadakan
pembahasan mengenai rancangan tersebut.Akhirnya, atas desakan dan tuntutan
berbagai lapisan masyarakat, pada Sidang Istimewa MPR bulan November 1998
dihasilkan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang kemudian diikuti dengan
dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai HAM.Hal ini dipandang
sebagai kemajuan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia di tengah keprihatinan
atas terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM di negeri tercinta ini.
Tipologi
dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan
pembangunan yang mengutamakan security approach (pendekatan keamanan)
dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Selama lebih
kurang tiga puluh dua tahun Orde Baru berkuasa, security approach
ditempuh oleh pemerintah sebagai kunci untuk menjaga stabilitas dalam rangka
menjaga kelangsungan pembangunan demi terwujudnya pertumbulan ekonomi
nasional.Pola pendekatan semacam ini sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran
HAM oleh pemerintah karena stabilitas ditegakkan dengan cara-cara represif oleh
pemegang kekuasaan.
Sentralisasi
kekuasaan yang dilakukan pada masa Orde Baru, dengan pemusatan kekuasaan pada
pemerintah pusat notabene pada figur seorang presiden, telah
mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari
penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat.Pembalikan teori kedaulatan
rakyat ini juga mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran HAM oleh negara dan
pematian kreativitas warga negara serta pengekangan hak politik warga negara
selaku pemilik kedaulatan. Adanya sentralisasi kekuasaan ini dilakukan pula
dengan tujuan untuk melanggengkan kedaulatan sang pemegang kekuasaan itu.
Kualitas
pelayanan publik yang masih rendah, sebagai akibat belum terwujudnya good
governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang,
akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum
berubahnya paradigma aparat pemerintah yang masih memposisikan dirinya sebagai
birokrat, bukan sebagai pelayan masyarakat, menghasilkan pelayanan publik yang
buruk dan cenderung turut menimbulkan pelanggaran HAM.
Konflik
horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang
melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh
aparat, seperti pembunuhan, penganiayaan, penculikan, pemerkosaan, pengusiran,
hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya rasa aman.
Pelanggaran
terhadap hak asasi kaum perempuan dan anak pun masih sering terjadi.Begitu pula
pelanggaran HAM yang disebabkan oleh isu-isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Berbagai instrumen yang terdapat di Indonesia belum mampu
untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran HAM meskipun PBB telah
mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan
dengan mempunyai hak atas kebebasan dan martabat yang sama tanpa membedakan
ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin.
Sebagai
akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, lumrah terjadi
pelanggaran-pelanggaran HAM dalam bentuk perbedaan perlakuan di hadapan hukum,
menjauhnya rasa keadilan, dan perbuatan main hakim sendiri akibat
ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.
Pengakuan
dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun
Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan
kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam
UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak
individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang
berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember
1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal
formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima
pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak
memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan
yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia
menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga
puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut,
penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik.Patut diingat bahwa pada masa
itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa
itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi
Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah
diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak
Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak
berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia
mengalami kemunduran dalam penegakan HAM.Sampai tahun 1966, kemunduran itu
terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan
pendapat.Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami
kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di
tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia
mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun
1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun
1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan
pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang
memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para
anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden
secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif
bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan
Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi
di mana-mana.
Sejak
runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan
penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke
permukaan dan bergerak secara terbuka.Gerakan ini memperoleh impetus
dengan diterimanya Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan
perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan
diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang
memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa
itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati
sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal
justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang
lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative
justice (keadilan administratif), political justice (keadilan
politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice
(keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah).
Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional
criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional
justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik
dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut.Di samping
itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen
yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang
diupayakan.
Upaya
penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua
jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur
ekstrayudisial (di luar proses pengadilan).Jalur yudisial terbagi lagi menjadi
dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM
ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU
No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk
mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26
tahun 2000.
Sedangkan
jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN)
ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau
dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun
2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada
kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya
penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang
berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan
fundamental.
Upaya
Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
1. Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde
Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk
itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan
pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum
harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada
masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan
hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka
menegakkan hukum.
2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini
perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan
berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu
dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak
boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas
kekurangan yang selama ini masih terjadi.
3. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah
paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi
struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai
bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan
penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah
air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan
cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
4. Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan
mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi
muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang
tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang
memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam
masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka
menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang
secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan
perlindungan hak asasi anak.
5. Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social
control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh
pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan
dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
6. Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan
dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam
pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi
hukum.
Mengingat
bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim
otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya
penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban
seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional,
yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh
keadilannya secara realistis.
Pelanggaran
HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu
kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu
lainnya.Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh
lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian.Oleh sebab itu perlu ada
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini
perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan
profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan Negara
2.
Menegakkan
hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3.
Meningkatkan
kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakatagar mampu
saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
Penutup
Tuntutan
untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun
melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus
dihadapi.Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat,
politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM
bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.
Penghormatan
dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada
tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya.Pembangunan bangsa dan negara
pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya.
Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum,
dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang
dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud
dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen
bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali
di masa kini dan masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar