BAB I
PENGERTIAN TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM
1.1. Pengertian Hukum
Definisi tentang hukum, kata Van Apeldoorn, adalah sangat sulit untuk di
buat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Dalam buku Prof. Sudirman Kartohadiprojo, SH. Yang berjudul “Pengantar
Tata Hukum di Indonesia” (1956), Jilid 1 pada Halaman 1, menulis sebagai
berikut, “ …………. Jikakalu kita menayakan
apakah yang dinamakan hukum, maka kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian
pendapat. Berbagaiperumusanlah yang dikemukakan”.
Definisi Hukum dari para Sarjana Hukum lain yang diantaranya dapat
diterjemahkan sebagai berikut :
a.
Prof. Mr. E.m. Meyers dalam bukunya : De Algemene
begripen Van het Burgerlijk Recht.
“Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan, ditinjau kepada tingka laku manusia dalam masyarakat, dan yang
menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.”
b.
Leon Deguit : “Hukum ialah aturan tingkah laku pada
anggota masyarakat antara yang daya penggunaannya pada saat tertentu di
indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan
yang jika dilanggar menimbulkan reaksi terhadap orang yang melakukan
pelanggaran itu
c.
Immanuel Kaul : “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat
yang dengan ini kehendak bebas dari yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang yang lain, menurut peraturan hukum tentang
kemerdekaan.”
Adapun
sebabnya mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, ialah karena hukum
itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak sehingga tak mungkin tercakup
keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu defenisi .
1.2. Tujuan Hukum
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota
masyarakat, diperlukan aturan0aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan
keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota
masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam
tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dala peraturan hukum yang ada dan
berlaku dalam masyarakat.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung tegas
dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum
yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadlan
dari masyarakat tersebut.
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asa”
Keadilan dari masyarakat itu.
Prof. Mr. Dr. Lo Van Apeldoor dalam bukunya mengatakan, bahwa tujuan hukum
ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian. Pendapat ini merupakan salah.
1.3. Fungsi Hukum
1.
Sebagai
alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat.
2.
Sebagai
sarana untuk mwujudkan keadilan soasial
3.
Sebagai
sarana penggerak pembangunan, dimana hukum disediakan alat-alat untuk membawa
masyarakat yang lebih maju.
4.
sebagai fungsi kritis.
BAB II
SUMBER-SUMBER HUKUM
2.1 Sumber-sumber Hukum Material dan Formal
Adapun dimaksud dengan sumber hukum ialah : Segala apa saja yang
menimbulkan anturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum itu dapat
ditinjau dari segi material dan formal :
1
Sumber-sumber
hukum material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut hukum
ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat daseterusnya.
2
Sumber-sumber hukum formal, antara lain ialah :
a.
Undang0undang (state)
b.
Kebiasaan (costum)
c.
Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudentil)
d.
Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
3
Undang-undang
Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa
negara.
a. Syarat-syarat berlakuknya suatu
Undang-undang
Syarat-syarat
untuk berlakunya suatu UU ialah diundangkannya dalam Lembaran Negara (LN) oleh
Menteri/Sekretaris Negara (dahulu : Menteri Kehakiman).
b. Berakhirnya kekuatan berlaku suatu
Undang-undang Suatu UU tidak berlaku lagi jika :
a. Jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh
UU itu sudah lampau.
b. Keadaan atau hal untuk mana undang-undang
itu diadakan sudah tidak ada lagi.
c. Undang-undang itu dengan tegas dicabut
oleh instansi yang membuat atau yang lebih tinggi.
d. Telah diadakan Undang-undang yang baru
yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku.
4
Kebiasaan (costum)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu
berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakkan yang berlawanan
dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran hukum, maka dengan demikian
timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang hukum.
5
Keputusan hakim (Jurisprudensi)
Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang
sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian masalah yang
sama.
Ada dua
macam Jurisprudensi yaitu :
a.
Jurisprudensi tetap
Ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan
yang menjadi dasar bagi pengadilan.
b.
Jurisprudensi tidak tetap.
6
Traktat (Treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (kouseusus)
tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian, Akibat
perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi
perjanjian yang mereka adakan itu.
Hal ini disebut Pacta Sunt Servada yang berarti, bahwa
perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus
ditaati dan ditepati.
Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih
disebut perjanjian Internasional / Traktat.
Jika
Traktat diadakan hanya oleh dua Negara, maka Traktat ini disebut traktat
Multilateral.
Apabila ada
traktat Multilateral memberikan kesempatan kepada Negara-negara yang ada
permulaan tidak turut mengadakannya, tetapi kemudian juga menjadi pihaknya,
maka traktat tersebut adalah traktat kolektif atau traktat terbuka.
7
Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga
mempunyai kekuasaan dua berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Terutama dalam hubungan Internasional
pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hukum Internasional pendapat para
sarjana merupakan sumber hukum yang sangat penting.
BAB III
SUBJEK DAN OBJEK HUKUM
3.1. Subjek Hukum
Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yeitu
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut seubjek hukum. Pada
dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia / orang dimana ada 2 pengertian
manusia / orang yang dimaksud dalam hal ini yaitu :
a.
Manusia
(naturlijke persoon) adalah mens persoon yang disebut dengan orang/manusia
pribadi.
b.
Badan Hukum (rechtspersoon) adalah
-
Badan hukum Publiek Reatatpersoon)
-
Privaat recthts Persoon
Sekarang boleh dikatakan tiap manusia baik warga negara ataupun orang
asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannya adalah subjek hukum sebagai
subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum; Ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan,
menikah, membauat wasiat, dan sebagainya.
Terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi
status”persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia, yang disebut
badan hukum.
Bedanya dengan
manusia, bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tak dapat
dihukum penjara (kecuali denda).
Badan hukum bertindak dengan perantara
pengurus-pengusrusnya.
Adapun Badan Hukum itu bermacam-macam bentuknya :
a. Badan Hukum Publik, yaitu Negera, Daerah
Swastautra Tingkat I dan II, Kotamadya, Kota Praja Desa.
b. Badan Hukum Perdata, yang dapat dibagi
dalam :
1.
Badan hukum (perdata), Eropa, seperti Perseroan
Terbatas, Yayasan, Lembaga, Koperasi, Gereja.
2. Badan Hukum Indonesia seperti : gereja
Indonesia, Masjid, Wakaf, Koperasi Indonesia.
3.2. Objek Hukum (Benda)
Yang dimaksud dengan objek hukum ilaha segala sesuatu yang berguna bagi
subjek hukum dan yang dapat menjadi objek sesuatu perhubungan hukum.
Biasanya objek hukum itu disebut BENDA, menurut Hukum Perdata, benda
ialah segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang (Vide padal
499) Kitab Undang-undang Hukum Sipil : KUHS).
1.
Benda yang berwujud
Segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindra, seperti : rumah, buku
dll.
2. Benda yang tak berwujud (Benda Immaterial)
Segala macam hak, seperti :
hak cipta, dll.
Akan tetapi, apabila pembagian tersebut
berdasarkan pasal 504 KUHP Perdata, maka menjadi :
1. Benda Tetap (Benda yang tak bergerak)
2. Benda tidak tetap (Benda yang bergerak)
BAB IV
KESADARAN KEPASTIAN DAN PENAFSIRAN HUKUM
4.1. Penafsiran Hukum (Interprensi Hukum)
Ada
beberapa macam penafsiran, antara lain
1.
Penafsiran tata bahasa (gramatikal)
Yaitu cara penafsiran
berdasarkan pada bunyi ketentuan UU. Dengan berpedoman pada arti
perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai
oleh UU : yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa /
menurut kebiasaan.
Contoh : “ Suatu
Peraturan perundangan melarang orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat
tertentu.”
“Peraturan” disini tidak dijelasjan apa maksudnya.
2.
Penafsiran Sanin (Autentik, resmi)
Yaitu Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh waktu antara matahari terbenam dan terbit ; pasal 101 KUHP :
“ternak berarti hewan yang berkuku satu).
3.
Penafsiran Historis
a.
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut.
b.
Sejarah UU nya, yang diselidiki maksud pembentuk UU
pada waktu membuat UU itu.
4.
Penafsiran sistematis, (degmatis)
Penafsiran memiliki susunan yang yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lain misalnya “asas
monogamy “tersebut dipasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
5.
Penafsiran Nasional, ialah Penafsiran menilik sesuai
tidaknya dengan hukum yang berlaku misalnya, hak milik pasal 570 KUHA sekarang
harus ditafsirkan menurut hak milik system hukum Indonesia (Pancasila).
6.
Penafsiran teleologis, (sosiologis)
Yaitu penafsirandengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting
disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap
sama saja.
7.
Penafsiran ekstensip, memberi tafsiran dengan
memperluas arti-arti dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat di
masukkannya seperti “aliran listrik “termasuk juga “benda”.
8.
Penafsiran restriktif, ialah penasiran dengan membatasi
(mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian” tidak
termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dsb.
9.
Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu
peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai
dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Missal :
“menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10. Penafsiran a contrario (menurut
peringkatan), ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang di dasarkan pada
perlawan pengertian antara soal yang dianggap dan soal yang diatur dalam suatu pasal
UU.
4.2. Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum adalah kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat didalam
manusia tentang hukum yang ada. Sebetulnya yang ditokohkan adalah nilai nilai
tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian buku terhadap kejadian-kejadian yang
konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Scahaten = 1954).
Nilai-nilai hukum yang menganggap dalam warga masyarakat sangat penting,
oleh karena itu, nilai-nilai tersebut :
1.
Merupakan abstraksi dan pengalaman-pengalaman pribadi.
2.
Senantiasa harus diuji dan bersifat dinamis.
3. Merupakan suatu criteria untuk memilih
jaminan-jaminan di dalam arah social.
4. Merupakan sesuatu yang menjadi penggerak
manusia kearah pemenuhan hasrat hidup secara langsung dan tak langsung.
4.3. Kepastian Hukum
Merupakan kelebihan dari hukum perundang-undang, kepastian hukum ini di
jamin oleh adanya pembuatan hukum yang dilakukan secara sistematis oleh
badan-badan badan yang khusus untuk itu dan teknik perumahannya yang
terpelihara dan dilambangkan secara baik lutinya adalah dim pahamkan untuk
pengutaraan secara tertulis (lus Scariptum).
BAB V
TATA URUTAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA
1. UUD 1945
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis Negara kesatuan Republik Indonesia:
-
Pembukaan
Berisi pernyataan kemerdekaan, bentuk dan dasar
Negara serta tujuan Negara.
-
Batang tubuh
Berisi 37 pasal yang dikelompokkan dalam 16 Bab, 3
Pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan.
2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR erupakan hasil dari siding-sidang MPR yang memuat tentang
baris-baris besar kebijaksanaan pemerintah Negara.
Ketetapan PMr ada 2 yakni :
-
Keputusan MPR
-
Keputusan MPR mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
kedalam.
-
Ketetapan MPR
Mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedalam dan keluar
lembaga itu.
3. Undang-undang
Undang-undang merupakan
peraturan perundangan yang dibuat oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Paperpu)
Adalah peraturan
Undang-undangan yang dibentuk berdasarkan pasal 5 ayat 2 UUD 1945. peraturan
Pemerintah ini dibentuk untuk menjalankan Undang-undang.
5. Peraturan Pemerintah (PP)
MIP suatu peraturan Pemerintah yang diterapkan oleh presiden dengan
tujuan untuk menjalankan UU.
6. Keputusan Presiden / Kepres
Adalah ketentuan atau aturan yang dibuat oleh Presiden untuk menjalankan
fungsi dan tugasnya sebagai kepala Pemerintahan.
7. Peraturan Daerah / Perda.
Peraturan / penentuan yang dibuat untuk melaksanakan aturan hukum di
daerah.
Peraturan Daerah umumnya
terdiri dari :
-
Perda propinsi dibuat oleh DPRD bersama Gubernur.
-
Perda Kebutuhan / Kota
dibuat oleh DPRD Kabupaten / Kota
bersama Buati / Walikota.
-
Per aturan Desa dibuat oleh Lurah Bersama.
BAB VI
UNIFIKASI DAN KODIFIKASI HUKUM
6.1. Unifikasi / Pembagian Hukum
Hukum dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asa
pembagian, sebagai berikut :
1. Menurut sumbernya, hukum dibagi dalam :
a.
Hukum Undang-undang
b.
Hukum Kebiasaan (Adat)
c.
Hukum Traktat
d.
Hukum Jurisprudesi
2. Menurut Sumbernya, hukum dibagi dalam :
a.
Hukum tertulis,
yang dibagi dalam
1.
Hukum tertulis yang dikodifikasikan
2.
Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan
b. Hukum tak tertulis (Hukum Kebiasaan)
3. Menurut tempat berlakunya, hukum divagi
dalam :
a.
Hukum Nasional
b.
Hukum Internasional
c.
Hukum Asing
d.
Hukum Gereja
4.
Menurut waktu berlakuknya, hukum dapat dibagi dalam :
a.
Ius Constitutum (Hukum Positif)
b.
Ius Constituendum
c.
Hukum Asasi (Hukum Alam)
Ketiga cara ini merupakan hukum
duniawi.
5. Menurut cara mempertahankannya, hukum
dapat dibagi dalam:
a.
Hukum Material
Contohnya : Hukum Pidana,
Hukum Perdata, Hukum dagang dan lain0lain.
b.
Hukum Formal (Hukum Proses / Hukum Acara)
Contohnya : Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata.
6. Menurut Sifatnya, Hukum dibagi dalam :
a.
Hukum yang memaksa
b. Hukum yang mengatur (hukum pelengkap)
7. Menurut Wujudnya, hukum dibagi dalam :
a.
Hukum Objektif
b.
Hukum Subjektif
8. Menurut Isinya, hukum dibagi dalam :
a.
Hukum Privat (hukum sipil)
b.
Hukum Publik (Hukum Negara)
6.2. Kodifikasi Hukum
Menurut bentuknya, hukum itu
dapat dibedakan antara :
6.2.1.
Hukum tertulis (Statute law – Written law), yakni hukum
yang dicabtumkan dalam pelbagai peraturan perundangan.
6.2.2.
Hukum tak tertulis (Unstatutery law = Unwritten Law)
yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masayarakat, tetapi tidak tertulis
namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga
hukum kebiasaan).
Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikodifikasikan, dan ada yang
belum dikodifikasikan.
Kodifikasi ialah
pemukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis
dan lengkap.
Jelas bahwa
unsur-unsur kodifikasi ialah :
a. Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum
perdata)
b.
Sistematis
c.
Lengkap
Tujuan
kodifikasi daripada hukum tertulis ialah untuk memperoleh :
a.
Kepastian hukum
b.
Penyederhanaan hukum
c.
Kesatuan hukum.
6.2.3. Contoh Kodifikasi Hukum
a.
Di Eropa : 1) Corpus luis Civilis (mengenai hukum
perdata) yang diusahakan oleh kaisar Justinianus dari hukum Romawi Timur dalam
tahun 527 – 565.
2) Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang
diusahakan oleh kaisar Nopoleon di Parancis dalam tahun 1604.
b.
Di Indonesia : 1) Kitab
Undang-undang Hukum Sipil (1Mei 1848)
2) Kitab undang hukum dagang (1 Mei 1848)
3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (1
Januari 1918)
4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHP), 31 Desember 1981.
BAB VII
LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM
Aturan-aturan hukum yang
beraneka ragam itu dapat digolongkan menjadi lapangan-lapangan hukum tertentu.
Di dalam UUDS (1950) perna disebut beberapa lapangan hukum yang dalam pasal 102
dan 108.
Dalam Pasal 102 UUDS di cabut
:
a.
Hukum Perdata dan Hukum Gadang
b.
Hukum Perdata Sipil dan Hukum Militer
c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Pidana
Pada Pokoknya
jenis-jenis lapangan hukum dapatlah disebutkan sebagai berikut :
1.
Hukum Tata Negara
Dengan terwujudnya Negara Indonesia
dapat dimengerti bahwa aturan-aturan hukum tentang Negara Indonesia merupakan hukum Tata Negara Indonesia.
2.
Hukum Administrasi Negara
Mengatur cara Negara atau
alat-alat perlengkapan Negara hendaknya bertingkah laku dalam menjalankan
tugasnya itu.
3.
Hukum Perdata.
Keseluruhan aturan hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang terhadap
orang lainnya di dalam Negara, tingkah laku antara warga masyarakat dalam
hubungan keluarga dan pergaulan masyarakat.
4.
Hukum Dagang
Yang hakikatnya bagian hukum Perdata di bidang perdagangan atau
perusahaan.
5.
Hukum Pidana
Yakni aturan-aturan hukum yang mengatur tindakan-tindakan apa yang di larang
dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya. Ada hukum pidana sipil dan hukum pidana militer
(Khusus bagi militer)
6.
Hukum Acara
Yang meliputi hukum
acara perdata dan hukum acara pidana.
BAB VIII
POLITIK HUKUM NASIONAL
Semenjak Proklamasi
Kemerdekaan pembinaan hukum Nasional haruslah berlandaskan falsafah Negara
Pancasila.
Namun demikian, selama lebih dari
seperempat abad lamanya dalam Negara Indonesia belum ditegaskan tentang suatu
politik hukum nasional seperti pada maa Hindia Belanda dahulu.
Baru pada tahun 1973
ditetapkan ketetapan MPR No. IV / MPR / 1973 tentang garis-garis besar haluan
Negara, yang didalamnya secara resmi digariskan politik hukum Nasional
Indonesia tersebut.
Dalam ketetapan MPR No. IV /
MPR / 1963 tersebut, Politik hukum Indonesia dirumuskan sebagai berikut :
1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum
Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib Hukum yaitu cita-cita
yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang di dapat
dalam Pancasila dan UUD 1945.
2. Pembinaan bidang hukum harus mampu
mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan disegala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum
sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan
bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menuju perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh dan dilakukan dengan :
- Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional.
- Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
- Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3. Memupuk kesadaran hokum dalam masyarakat
dan membina sikap ara penguasa dan para pemerintah ke arah penegak hokum, keadilan serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hokum
sesuai dengan Undang-undang 1945.
Perumusan politik hokum
Indonesia tersebut dalam Garis-garis besar Haluan Negara adalah singkat sekali,
namun cukup padat : jika ia dilaksanakan dengan baik dapatlah kita mengejar
ketinggalan dalam bidang pembinaan dan penegakan hokum di Indonesia.
Dalam politik hokum tersebut
perlu di catat hal-hal yang berikut :
1. Kepala Pemerintah dan DPR di bebani tugas
modernisasi, kodifikasi dan unifikasi dalam bidang tertentu.
2. Dalam bidang Institusional di kehendaki
adanya penertiban fungsi lembaga-lembaga Hukum; menetapkan dan mengatur
wewenang masing-masing aparat penegak hokum seperti polisi, jaksa, dan hakim
serta pembela / advokat, agar tak terdapat kesimpangsiuran.
3. Dalam bidang keterampilan perlu diadakan
peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hokum ; untuk perlu
peningkatan mutu pendidikan.ilmiah dalam ilmu pengetahuan hokum, serta
pembinaan mental pada penegak hokum untuk penciptaan kewibawaan mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Syahrani,
Riduan. 1999, Rangkuman Intisari Ilmi
Hukum. Bandung : Citra Adirya Bakti.
Kansil,
C.S.T. 19992. Pengantar Ilmu Hukum Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Sinar Grafika.
Sudarsono.
2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta :
Rineka Cipta.
Kansil,
C.S.T. 1990. Hukum Tata Negara. Jakarta
: Rineka Cipta.
Kansil
C.S.T. 1979. Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia.Jakarta : balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar