Kamis, 28 Juni 2012

Hukum


BAB I
PENGERTIAN TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM

1.1.    Pengertian Hukum
Definisi tentang hukum, kata Van Apeldoorn, adalah sangat sulit untuk di buat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Dalam buku Prof. Sudirman Kartohadiprojo, SH. Yang berjudul “Pengantar Tata Hukum di Indonesia” (1956), Jilid 1 pada Halaman 1, menulis sebagai berikut,  “ …………. Jikakalu kita menayakan apakah yang dinamakan hukum, maka kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagaiperumusanlah yang dikemukakan”.
Definisi Hukum dari para Sarjana Hukum lain yang diantaranya dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a.       Prof. Mr. E.m. Meyers dalam bukunya : De Algemene begripen Van het Burgerlijk Recht.
“Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditinjau kepada tingka laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.”
b.      Leon Deguit : “Hukum ialah aturan tingkah laku pada anggota masyarakat antara yang daya penggunaannya pada saat tertentu di indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu
c.       Immanuel Kaul : “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan.”
Adapun sebabnya mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, ialah karena hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak sehingga tak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu defenisi .

1.2.    Tujuan Hukum
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan0aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dala peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung tegas dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadlan dari masyarakat tersebut.
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asa” Keadilan dari masyarakat itu.
Prof. Mr. Dr. Lo Van Apeldoor dalam bukunya mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Pendapat ini merupakan salah.

1.3.    Fungsi Hukum
            1.      Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat.
            2.      Sebagai sarana untuk mwujudkan keadilan soasial
            3.      Sebagai sarana penggerak pembangunan, dimana hukum disediakan alat-alat untuk membawa masyarakat yang lebih maju.
            4.      sebagai fungsi kritis.










BAB II
SUMBER-SUMBER HUKUM


2.1  Sumber-sumber Hukum Material dan Formal
Adapun dimaksud dengan sumber hukum ialah : Segala apa saja yang menimbulkan anturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum itu dapat ditinjau dari segi material dan formal :
1        Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut hukum ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat daseterusnya.
2        Sumber-sumber hukum formal, antara lain ialah :
a.       Undang0undang (state)
b.      Kebiasaan (costum)
c.       Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudentil)
d.      Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
3        Undang-undang
Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
a.       Syarat-syarat berlakuknya suatu Undang-undang
Syarat-syarat untuk berlakunya suatu UU ialah diundangkannya dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekretaris Negara (dahulu : Menteri Kehakiman).
b.      Berakhirnya kekuatan berlaku suatu Undang-undang Suatu UU tidak berlaku lagi jika :
a.       Jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh UU itu sudah lampau.
b.      Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
c.       Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau yang lebih tinggi.
d.      Telah diadakan Undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku.

4        Kebiasaan (costum)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakkan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang hukum.

5        Keputusan hakim (Jurisprudensi)
Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian masalah yang sama.
Ada dua macam Jurisprudensi yaitu :
a.       Jurisprudensi tetap
Ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan.
b.      Jurisprudensi tidak tetap.
6        Traktat (Treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (kouseusus) tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian, Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu.
Hal ini disebut Pacta Sunt Servada yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.
Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih disebut perjanjian Internasional / Traktat.
Jika Traktat diadakan hanya oleh dua Negara, maka Traktat ini disebut traktat Multilateral.
Apabila ada traktat Multilateral memberikan kesempatan kepada Negara-negara yang ada permulaan tidak turut mengadakannya, tetapi kemudian juga menjadi pihaknya, maka traktat tersebut adalah traktat kolektif atau traktat terbuka.

7        Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dua berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Terutama dalam hubungan Internasional pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hukum Internasional pendapat para sarjana merupakan sumber hukum yang sangat penting.

BAB III
SUBJEK DAN OBJEK HUKUM

3.1.    Subjek Hukum
Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yeitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut seubjek hukum. Pada dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia / orang dimana ada 2 pengertian manusia / orang yang dimaksud dalam hal ini yaitu :
a.           Manusia (naturlijke persoon) adalah mens persoon yang disebut dengan orang/manusia pribadi.
b.           Badan Hukum (rechtspersoon) adalah
-          Badan hukum Publiek Reatatpersoon)
-          Privaat recthts Persoon
Sekarang boleh dikatakan tiap manusia baik warga negara ataupun orang asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannya adalah subjek hukum sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum;  Ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membauat wasiat, dan sebagainya.
Terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status”persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia, yang disebut badan hukum.
Bedanya dengan manusia, bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tak dapat dihukum penjara (kecuali denda).
Badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengusrusnya.
Adapun Badan Hukum itu bermacam-macam bentuknya :
a.       Badan Hukum Publik, yaitu Negera, Daerah Swastautra Tingkat I dan II, Kotamadya, Kota Praja Desa.
b.      Badan Hukum Perdata, yang dapat dibagi dalam :
1.      Badan hukum (perdata), Eropa, seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Lembaga, Koperasi, Gereja.
2.      Badan Hukum Indonesia seperti : gereja Indonesia, Masjid, Wakaf, Koperasi Indonesia.

3.2.    Objek Hukum (Benda)
Yang dimaksud dengan objek hukum ilaha segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek sesuatu perhubungan hukum.
Biasanya objek hukum itu disebut BENDA, menurut Hukum Perdata, benda ialah segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang (Vide padal 499) Kitab Undang-undang Hukum Sipil : KUHS).
1.      Benda yang berwujud
Segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindra, seperti : rumah, buku dll.
2.      Benda yang tak berwujud (Benda Immaterial)
Segala macam hak, seperti : hak cipta, dll.
Akan tetapi, apabila pembagian tersebut berdasarkan pasal 504 KUHP Perdata, maka menjadi :
1.      Benda Tetap (Benda yang tak bergerak)
2.      Benda tidak tetap (Benda yang bergerak)
BAB IV
KESADARAN KEPASTIAN DAN PENAFSIRAN HUKUM

4.1.    Penafsiran Hukum (Interprensi Hukum)
Ada beberapa macam penafsiran, antara lain
1.      Penafsiran tata bahasa (gramatikal)
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan UU. Dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai oleh UU : yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa / menurut kebiasaan.
Contoh : “ Suatu Peraturan perundangan melarang orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu.”
“Peraturan” disini tidak dijelasjan apa maksudnya.
2.      Penafsiran Sanin (Autentik, resmi)
Yaitu Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh waktu antara matahari terbenam dan terbit ; pasal 101 KUHP : “ternak berarti hewan yang berkuku satu).
3.      Penafsiran Historis
a.       Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.
b.      Sejarah UU nya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu.

4.      Penafsiran sistematis, (degmatis)
Penafsiran memiliki susunan yang yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lain misalnya “asas monogamy “tersebut dipasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
5.      Penafsiran Nasional, ialah Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan hukum yang berlaku misalnya, hak milik pasal 570 KUHA sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik system hukum Indonesia (Pancasila).
6.      Penafsiran teleologis, (sosiologis)
Yaitu penafsirandengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja.
7.      Penafsiran ekstensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti-arti dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat di masukkannya seperti “aliran listrik “termasuk juga “benda”.
8.      Penafsiran restriktif, ialah penasiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dsb.
9.      Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Missal : “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10.  Penafsiran a contrario (menurut peringkatan), ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang di dasarkan pada perlawan pengertian antara soal yang dianggap dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU.

4.2.    Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum adalah kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat didalam manusia tentang hukum yang ada. Sebetulnya yang ditokohkan adalah nilai nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian buku terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Scahaten = 1954).
Nilai-nilai hukum yang menganggap dalam warga masyarakat sangat penting, oleh karena itu, nilai-nilai tersebut :
1.      Merupakan abstraksi dan pengalaman-pengalaman pribadi.
2.      Senantiasa harus diuji dan bersifat dinamis.
3.      Merupakan suatu criteria untuk memilih jaminan-jaminan di dalam arah social.
4.      Merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia kearah pemenuhan hasrat hidup secara langsung dan tak langsung.

4.3.    Kepastian Hukum
Merupakan kelebihan dari hukum perundang-undang, kepastian hukum ini di jamin oleh adanya pembuatan hukum yang dilakukan secara sistematis oleh badan-badan badan yang khusus untuk itu dan teknik perumahannya yang terpelihara dan dilambangkan secara baik lutinya adalah dim pahamkan untuk pengutaraan secara tertulis (lus Scariptum).
BAB V
TATA URUTAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA

1.      UUD 1945
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis Negara kesatuan Republik Indonesia:
-          Pembukaan
Berisi pernyataan kemerdekaan, bentuk dan dasar Negara serta tujuan Negara.
-          Batang tubuh
Berisi 37 pasal yang dikelompokkan dalam 16 Bab, 3 Pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan.

2.      Ketetapan MPR
Ketetapan MPR erupakan hasil dari siding-sidang MPR yang memuat tentang baris-baris besar kebijaksanaan pemerintah Negara.
Ketetapan PMr ada 2 yakni :
-          Keputusan MPR
-          Keputusan MPR mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedalam.
-          Ketetapan MPR
      Mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedalam dan keluar lembaga itu.

3.      Undang-undang
Undang-undang merupakan peraturan perundangan yang dibuat oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.
4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Paperpu)
Adalah peraturan Undang-undangan yang dibentuk berdasarkan pasal 5 ayat 2 UUD 1945. peraturan Pemerintah ini dibentuk untuk menjalankan Undang-undang.
5.      Peraturan Pemerintah (PP)
MIP suatu peraturan Pemerintah yang diterapkan oleh presiden dengan tujuan untuk menjalankan UU.
6.      Keputusan Presiden / Kepres
Adalah ketentuan atau aturan yang dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai kepala Pemerintahan.
7.      Peraturan Daerah / Perda.
Peraturan / penentuan yang dibuat untuk melaksanakan aturan hukum di daerah.
Peraturan Daerah umumnya terdiri dari :
-          Perda propinsi dibuat oleh DPRD bersama Gubernur.
-          Perda Kebutuhan / Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten / Kota bersama Buati / Walikota.
-          Per aturan Desa dibuat oleh Lurah Bersama.



BAB VI
UNIFIKASI DAN KODIFIKASI HUKUM

6.1.    Unifikasi / Pembagian Hukum
Hukum dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asa pembagian, sebagai berikut :
1.      Menurut sumbernya, hukum dibagi dalam :
a.       Hukum Undang-undang
b.      Hukum Kebiasaan (Adat)
c.       Hukum Traktat
d.      Hukum Jurisprudesi
2.      Menurut Sumbernya, hukum dibagi dalam :
a.       Hukum  tertulis, yang dibagi dalam
1.      Hukum tertulis yang dikodifikasikan
2.      Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan
b.      Hukum tak tertulis (Hukum Kebiasaan)
3.      Menurut tempat berlakunya, hukum divagi dalam :
a.       Hukum Nasional
b.      Hukum Internasional
c.       Hukum Asing
d.      Hukum Gereja


4.      Menurut waktu berlakuknya, hukum dapat dibagi dalam :
a.       Ius Constitutum (Hukum Positif)
b.      Ius Constituendum
c.       Hukum Asasi (Hukum Alam)
Ketiga cara ini merupakan hukum duniawi.
5.      Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dibagi dalam:
a.       Hukum Material
Contohnya : Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum dagang dan lain0lain.
b.      Hukum Formal (Hukum Proses / Hukum Acara)
Contohnya : Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
6.      Menurut Sifatnya, Hukum dibagi dalam :
a.       Hukum yang memaksa
b.      Hukum yang mengatur (hukum pelengkap)
7.      Menurut Wujudnya, hukum dibagi dalam :
a.       Hukum Objektif
b.      Hukum Subjektif
8.      Menurut Isinya, hukum dibagi dalam :
a.       Hukum Privat (hukum sipil)
b.      Hukum Publik (Hukum Negara)




6.2.    Kodifikasi Hukum
Menurut bentuknya, hukum itu dapat dibedakan antara :
6.2.1.      Hukum tertulis (Statute law – Written law), yakni hukum yang dicabtumkan dalam pelbagai peraturan perundangan.
6.2.2.      Hukum tak tertulis (Unstatutery law = Unwritten Law) yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masayarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga hukum kebiasaan).
Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikodifikasikan, dan ada yang belum dikodifikasikan.
Kodifikasi ialah pemukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Jelas bahwa unsur-unsur kodifikasi ialah :
a.       Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata)
b.      Sistematis
c.       Lengkap
Tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis ialah untuk memperoleh :
a.       Kepastian hukum
b.      Penyederhanaan hukum
c.       Kesatuan hukum.



6.2.3.      Contoh Kodifikasi Hukum
a.       Di Eropa : 1) Corpus luis Civilis (mengenai hukum perdata) yang diusahakan oleh kaisar Justinianus dari hukum Romawi Timur dalam tahun 527 – 565.
                           2)   Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh kaisar Nopoleon di Parancis dalam tahun 1604.
b.      Di Indonesia   :     1)   Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1Mei 1848)
2)      Kitab undang hukum dagang (1 Mei 1848)
3)      Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (1 Januari 1918)
4)      Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP), 31 Desember 1981.











BAB VII
LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM

Aturan-aturan hukum yang beraneka ragam itu dapat digolongkan menjadi lapangan-lapangan hukum tertentu. Di dalam UUDS (1950) perna disebut beberapa lapangan hukum yang dalam pasal 102 dan 108.
Dalam Pasal 102 UUDS di cabut :
a.       Hukum Perdata dan Hukum Gadang
b.      Hukum Perdata Sipil dan Hukum Militer
c.       Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Pada Pokoknya jenis-jenis lapangan hukum dapatlah disebutkan sebagai berikut :
1.      Hukum Tata Negara
Dengan terwujudnya Negara Indonesia dapat dimengerti bahwa aturan-aturan hukum tentang Negara Indonesia merupakan hukum Tata Negara Indonesia.
2.      Hukum Administrasi Negara
Mengatur cara Negara atau alat-alat perlengkapan Negara hendaknya bertingkah laku dalam menjalankan tugasnya itu.
3.      Hukum Perdata.
Keseluruhan aturan hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang terhadap orang lainnya di dalam Negara, tingkah laku antara warga masyarakat dalam hubungan keluarga dan pergaulan masyarakat.

4.      Hukum Dagang
Yang hakikatnya bagian hukum Perdata di bidang perdagangan atau perusahaan.
5.      Hukum Pidana
Yakni aturan-aturan hukum yang mengatur tindakan-tindakan apa yang di larang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya. Ada hukum pidana sipil dan hukum pidana militer (Khusus bagi militer)
6.      Hukum Acara
Yang meliputi hukum acara perdata dan hukum acara pidana.















BAB VIII
POLITIK HUKUM NASIONAL

Semenjak Proklamasi Kemerdekaan pembinaan hukum Nasional haruslah berlandaskan falsafah Negara Pancasila.
Namun demikian, selama lebih dari seperempat abad lamanya dalam Negara Indonesia belum ditegaskan tentang suatu politik hukum nasional seperti pada maa Hindia Belanda dahulu.
Baru pada tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV / MPR / 1973 tentang garis-garis besar haluan Negara, yang didalamnya secara resmi digariskan politik hukum Nasional Indonesia tersebut.
Dalam ketetapan MPR No. IV / MPR / 1963 tersebut, Politik hukum Indonesia dirumuskan sebagai berikut :
1.      Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib Hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang di dapat dalam Pancasila dan UUD 1945.
2.      Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menuju perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dan dilakukan dengan :
  1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional.
  2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
  3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3.      Memupuk kesadaran hokum dalam masyarakat dan membina sikap ara penguasa dan para pemerintah ke arah  penegak hokum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hokum sesuai dengan Undang-undang 1945.
Perumusan politik hokum Indonesia tersebut dalam Garis-garis besar Haluan Negara adalah singkat sekali, namun cukup padat : jika ia dilaksanakan dengan baik dapatlah kita mengejar ketinggalan dalam bidang pembinaan dan penegakan hokum di Indonesia.
Dalam politik hokum tersebut perlu di catat hal-hal yang berikut :
1.      Kepala Pemerintah dan DPR di bebani tugas modernisasi, kodifikasi dan unifikasi dalam bidang tertentu.
2.      Dalam bidang Institusional di kehendaki adanya penertiban fungsi lembaga-lembaga Hukum; menetapkan dan mengatur wewenang masing-masing aparat penegak hokum seperti polisi, jaksa, dan hakim serta pembela / advokat, agar tak terdapat kesimpangsiuran.
3.      Dalam bidang keterampilan perlu diadakan peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hokum ; untuk perlu peningkatan mutu pendidikan.ilmiah dalam ilmu pengetahuan hokum, serta pembinaan mental pada penegak hokum untuk penciptaan kewibawaan mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Syahrani, Riduan. 1999, Rangkuman Intisari Ilmi Hukum. Bandung : Citra Adirya Bakti.
Kansil, C.S.T. 19992. Pengantar Ilmu Hukum Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Sinar Grafika.
Sudarsono. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil, C.S.T. 1990. Hukum Tata Negara. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil C.S.T. 1979. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta : balai Pustaka.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar