A. Perbedaan Perikatan dan
Perjanjian
Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi
pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan
secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa
perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari
perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian
sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi
dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233
KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan
tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua
istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum
Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian.
Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:
“Suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu
merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian
perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam
perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan
perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian
pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya
benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain
mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang
undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena
adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena
perintah undang-undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak
pada konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak
hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah
terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang
dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak
yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya
merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan
bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang
mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa
oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak
dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi),
sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan
pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih
luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal
pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan
mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara
dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut
tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan
akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan
prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti,
yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat
tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun
perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari
undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.
B. Perbedaan Memorandum of
Understanding (MOU) dengan Perjanjian
Memorandum of Understanding atau disebut juga nota kesepahaman
merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis dan hukum.
Banyak orang, perusahaan atau para pelaku bisnis, memakai istilah itu untuk
aktivitas bisnisnya. Akan tetapi seringkali istilah tersebut menimbulkan
kerancuan. Orang banyak merasa rancu untuk membedakan antara pengertian
Memorandum of Understanding (MOU) dengan sebuah perjanjian.
Sejauh mana perbedaan Memorandum of Understanding (MoU) lebih menunjuk
kepada bentuk kesamaan pandangan bagi para pihak pembuatnya. Kesamaan pandangan
bagi para pihak dan kesamaan kehendak yang kemudian di wujudkan dalam bentuk
tertulis. Adanya kesepahaman itu bisa menimbulkan akibat bisnis bagi para pihak
tergantung sejauh mana para pihak saling bersepaham, namun belum mempunyai
akibat hukum. MoU ibarat ikatan pertunangan diantara dua orang yang dapat
diputus oleh salah satu pihak dan bila pertunangan itu diputus atau tidak
diwujudkan dalam tali perkawinan, tidak membawa konsekuensi hukum apapun.
Berbeda halnya dengan Perjanjian yang ibarat perkawinan tidak dapat diputus begitu
saja tanpa adanya putusan hukum dimana pemutusan itu menimbulkan akibat hukum
terhadap anak dan harta.
Dalam MoU, kesepahaman para pihak yang tertuang dalam bentuk tertulis
dimaksudkan sebagai pertemuan keinginan antara pihak yang membuatnya. Sedangkan
akibat dari Memorandum of Understanding apakah ada dan mengikat kepada para
pihak, sangat tergantung dari kesepakatan awal pada saat pembuatan dari
Memorandum of Understanding tersebut. Ikatan yang muncul dalam MoU adalah
ikatan moral yang berlandaskan etika bisnis, sedangkan ikatan dalam perjanjian
merupakan ikatan hukum yang berlandaskan pada aturan hukum dan pada kesepakatan
para pihak yang dipersamakan dengan hukum.
Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement
merupakan pertemuan keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang
memberikan konsekuensi hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk
melaksanakan poin-poin kesepakatan dan apabila salah satu pihak ingkar janji
atau wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi tersebut diwajibkan untuk
mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan sebagaimana disepakati dalam
perjanjian. Sedangkan pada MoU tidak ada kewajiban yang demikian.
Dalam praktek sering terjadi judul yang digunakan Memorandum of
Understanding, namun isinya merupakan perjanjian yang sudah mengikat para pihak
sehubungan dengan isi perjanjian tersebut.
Selain istilah MOU ada juga istilah Letter of Intent (LoI) yang
sering juga disebut memorandum of intent secara teori dimaksudkan
sebagai kesepakatan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat.
Dengan kalimat lain, letter of intent ini sering diberikan sebagai
langkah awal untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan
Perjanjian.
Istilah lain adalah Letter of Comfort yang merupakan surat atau
dokumen yang berisikan pernyataan sikap mendukung ataupun bentuk penilaian
positif dari seseorang terhadap seseorang lainnya, yang diberikan kepada pihak
lain yang membutuhkannya dengan tujuan agar dukungan atau rekomendasi tersebut
dapat semakin menambah keyakinan bagi pihak penerima tersebut untuk memutuskan
apakah akan meneruskan atau menghentikan hubungan hukum, baik misalnya dalam
pemberian fasilitas kredit.
Dari uraian tersebut di atas dapat kita lihat bahwa, keinginan para
pihak untuk menentukan apakah ikatan tertulis tersebut akan merupakan
perjanjian yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat atau hanya merupakan
kesepahaman yang mempunyai konsekuensi pertanggungjawaban secara moral, sangat
tergantung kepada para pihak yang membuat ikatan tersebut. Jadi ada tidaknya
akibat hukum pada suatu ikatan yang dibuat sangat tergantung pada kesepakatan
para pihak.
C. Perjanjian Sama Artinya
Dengan Kontrak dan Agreement
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan pengertian perjanjian sebagai
kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Adapun pengertian kontrak tidak disebut secara tegas dalam literatur
hukum. Kontrak lebih merupakan istilah yang digunakan dalam perikatan-perikatan
bisnis disamping MoU dan LoI, yang pemakaian istilahnya bersifat khusus untuk
perikatan bisnis. Kontrak yang dibuat dalam hubungan bisnis memiliki sifat yang
tidak berbeda dengan perjanjian, yaitu ikatan yang memiliki akibat hukum. Oleh
karena kontrak merupakan kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi
hukum yang mengikat, maka pengertiannya sama dengan perjanjian sekalipun
istilah kontrak belum tentu sebuah perjanjian karena perjanjian tidak eksklusif
sebagai istilah suatu perikatan dalam bisnis.
Disamping perjanjian dan kontrak, masih dikenal istilah persetujuan
atau dalam bahasa Inggris disebut agreement. Sama seperti yang dimaksud
oleh perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata, pengertian agreement dalam
pengertian luas dapat berarti sebagai kesepakatan yang mempunyai konsekuensi
hukum dan juga kesepakatan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum. Agreement
akan mempunyai kualitas atau pengertian perjanjian atau kontrak apabila ada
akibat hukum yang dikenakan terhadap pelanggaran janji (breach of contract)
dalam agreement tersebut. Dalam pengertian kesepakatan para pihak yang
mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, maka agreement sama artinya
dengan perjanjian.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan istilah kontrak juga merupakan agreement
karena agreement dalam bahasa Indonesia merupakan perjanjian, sedangkan
sebuah perjanjian merupakan persetujuan yang melahirkan perikatan, maka istilah
perjanjian, kontrak, ataupun agreement memiliki pengertian yang sama.
Dalam paparan tulisan ini, penggunaan ketiga istilah itu merujuk kepada hal
yang sama.
D. Akibat Perjanjian
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perjanjian bukanlah perikatan
moral tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari
perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak
dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu
undang-undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian
secara sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila
berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang
disepakati dalam perjanjian.
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam
perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau
undang-undang. Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan
dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak.
II. Sahnya
Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
1. Berdasarkan kesepakatan para pihak;
Kesepakatan merupakan faktor esensial yang menjiwai perjanjian,
kesepakatan biasanya diekspresikan dengan kata “setuju” disertai pembubuhan
tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang tercantum dalam
perjanjian. Dalam perjanjian suatu kesepakatan dinyatakan tidak sah, apabila
kesepakatan yang dicapai tersebut terjadi karena kekhilafan atau dibuat dengan
suatu tindakan pemaksaan atau penipuan.
2. Pihak-pihak dalam perjanjian harus cakap untuk membuat perjanjian;
Setiap orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum,
namun KUHPerdata membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam
perjanjian. Untuk itu kita perlu mengetahui siapa saja yang menurut hukum tidak
cakap atau tidak mempunyai kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Berikut
adalah pihak-pihak yang tidak cakap secara hukum untuk membuat perjanjian:
1. Orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum berumur 21 tahun
2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, misalnya: anak-anak, orang
yang pikirannya kurang sehat atau mengalami gangguan mental.
3. Semua pihak yang menurut undang-undang yang berlaku tidak cakap atau
dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian, misalnya; istri dalam melakukan
perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu harus mendapatkan persetujuan
suami.
3. Perjanjian menyepakati suatu hal;
Hukum mewajibkan setiap perjanjian harus mengenai sesuatu hal sebagai
objek dari perjanjian, misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli.
4. Dibuat berdasarkan suatu sebab yang halal.
Perjanjian menuntut adanya itikad baik dari para pihak dalam
perjanjian, oleh karena itu perjanjian yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak
halal, misalnya karena paksaaan atau tipu muslihat tidak memenuhi syarat
sebagai suatu perjanjian.
II.
Sebab-sebab Berakhirnya Perjanjian
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat
tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya
habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan
agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan.
Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:
1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata,
tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur
pembayaran.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan
sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang
prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran
dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab
berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya
dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua
jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum
waktunya.
3. Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab
munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui
berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian,
misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena
berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena
pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling
mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang
mereka masing-masing.
5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat
menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya
penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum
waktu sewa berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur
untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan
terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati
dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal
suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya
syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak
ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian
berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat
kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat
menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian
yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para
pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan
pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan
perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam
perjanjian.
10. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)
perjanjian.
III. Cara Menafsirkan Perjanjian
Perjanjian tidak menimbulkan perselisihan apabila dilaksanakan
berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan didalamnya. Akan tetapi,
kadangkala perbedaan penafsiran terhadap kesepakatan dalam perjanjian dapat
menimbulkan perselisihan diantara para pihak yang terikat didalamnya sehingga
mengganggu pelaksanaannya. Oleh karena itu KUHPerdata telah mengatur tata cara
penafsiran perjanjian sebagai berikut:
1. jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk
menyimpang dari pada perjanjian dengan cara penafsiran;
2. jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam
penafsiran, harus dilakukan penyelidikan terhadap maksud para pihak yang
membuat perjanjian tersebut daripada hanya berpatokan pada kata-kata dalam
perjanjian;
3. jika terhadap suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka
haruslah dipilih pengertian yang memungkinkan janji dalam perjanjian dapat
dilaksanakan daripada memberikan pengertian yang tidak mungkin terlaksana;
4. jika terhadap kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan dua macam
pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian;
5. terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan atas pengertian dan
pelaksanaan perjanjian, maka hal yang meragukan tersebut haruslah ditafsirkan
menurut kebiasaan dalam negara atau tempat dimana perjanjian dibuat;
6. hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan atau dianggap
secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan dalam perjanjian;
7. semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain, yaitu tiap janji harus ditafsirkan berdasarkan
kesepakatan dalam perjanjian secara keseluruhan, artinya tidak dapat
ditafsirkan sendiri-sendiri terlepas dari janji-janji lain dalam perjanjian;
8. jika terjadi keragu-raguan terhadap suatu hal dalam perjanjian, maka
suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta
diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan
dirinya untuk itu.
IV. Teknik Perancangan Perjanjian
Di dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan keberlakuan
perjanjian di Indonesia memuat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. adanya kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian;
2. para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut mempunyai kapasitas
(juga kewenangan) hukum untuk melakukan perjanjian;
3. hal yang diperjanjikan jelas; dan
4. sebab perjanjian halal.
Penegasan terhadap keberlakuan dari perjanjian yang telah memenuhi
keempat unsur tersebut sebagai suatu aturan hukum yang mengikat kedua belah
pihak, ditegaskan dalam 1338 KUHPerdata yaitu suatu Perjanjian merupakan suatu
undang-undang bagi para pembuatnya. Keberlakuan perjanjian sebagai sebuah
undang-undang mengikat bagi para pihak dan memaksa para pihak untuk
melaksanakannya. Karena Perjanjian memiliki akibat yang sangat besar terhadap
para pembuatnya, maka Perjanjian sepatutnya dipersiapkan dan dibuat sebaik
mungkin untuk melindungi para pihak dan menjamin hal diperjanjikan dalam
Perjanjian terlaksana. Untuk itu perlu dipahami hal-hal dasar dalam teknik
perancangan Perjanjian berikut ini.
A. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam membuat perjanjian
Sebelum membuat Perjanjian sebaiknya terlebih dahulu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Penguasaan terhadap bisnis yang diperjanjikan dalam Perjanjian;
2. Identifikasi para pihak dalam Perjanjian;
3. Penguasaan regulasi;
4. Penggunaan tenaga lain;
5. Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)
Lebih jauh keempat hal diatas diuraikan berikut ini:
1. Penguasaan Terhadap Bisnis dalam Perjanjian
Pembuatan suatu Perjanjian sangat tergantung terhadap aspek bisnis yang
diperjanjikan dalam Perjanjian, sehingga diperlukan pengetahuan yang memadai
atas bisnis tersebut. Biasanya keuntungan yang ditawarkan oleh jenis bisnis
tertentu menyebabkan pelaku bisnis tertarik untuk melakukan investasi atau
kerjasama, namun tidak semua jenis bisnis dikuasai oleh para pelaku bisnis
sehingga diperlukan orang yang menguasai bisnis tersebut yang dapat membantu
para pelaku bisnis memahami seluk beluk bisnis dimaksud. Ada baiknya pelaku
bisnis yang hendak melakukan Perjanjian bisnis meminta bantuan pihak yang
mempunyai wawasan luas tentang bisnis tersebut.
2. Identifikasi Para Pihak
Suatu Perjanjian merupakan bentuk kesepakatan pihak-pihak yang
melakukan perjanjian, sehingga dalam penyusunan perjanjian dituntut ketepatan
penempatan pihak. Kesalahan penempatan pihak dalam Perjanjian akan berakibat
tidak mengikatnya pihak yang dikehendaki sebagai pihak, misalkan apabila yang
menjadi pihak dalam perjanjian adalah perseroan, maka hendaknya perjanjian
ditandatangani oleh wakil perseroan menurut anggaran dasar, yaitu direksi
sesuai dengan kewenangan direksi tersebut atau setidaktidaknya pihak yang
menerima kuasa untuk melakukan Perjanjian tersebut;
Disamping aspek legal formal diatas, juga patut dipertimbangkan latar
belakang kebudayaan serta kekuatan ekonomi serta aspek-aspek lain yang akan
mempengaruhi isi perjanjian. Aspek-aspek tersebut akan menentukan materi dan
teknik melakukan negosiasi atas materi-materi (hal-hal) yang akan menjadi bahan
dalam perjanjian-perjanjian antara para pihak.
3. Penguasaan Regulasi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perjanjian yang dibuat
tergantung pada jenis bisnis yang diperjanjikan, karena itu regulasi yang
berkaitan dengan Perjanjian juga tidak selalu sama. Penguasaan akan jenis
bisnis dalam Perjanjian membawa pada tuntutan untuk menguasai regulasi yang
berkaitan dengannya, sehingga perlu dipastikan bahwa apa yang diperjanjikan
dalam Perjanjian telah disesuaikan dengan regulasi yang mengaturnya, mulai dari
regulasi besar sampai yang terkecilnya, mulai dari undang-undang sampai pada
keputusan kepala instansi terkait. Kadangkala beberapa ketentuan dalam regulasi
tidak menunjang aspek Perjanjian, maka perlu disepakati untuk dikesampingkan.
Ketentuan-ketentuan dalam regulasi ada yang dapat dikesampingkan dan ada yang
tidak, maka diperlukan pengenalan terhadap sifat-sifat dari ketentuan dalam
regulasi terkait.
4. Penggunaan Tenaga Lain
Untuk memastikan suatu perjanjian dibuat dengan baik, maka sebaiknya
pihak yang melakukan perjanjian meminta bantuan tenaga-tenaga profesional
sesuai dengan aspek bisnis yang diperjanjikan. Bila meminta bantuan penasihat
hukum, hendaknya penasihat hukum yang tidak hanya mengerti hukumnya tetapi juga
yang mengerti bisnisnya, dan sedapat mungkin pada Perjanjian-Perjanjian yang
sifatnya sangat khusus dilibatkan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.
5. Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)
Apabila salah satu unsur dalam perjanjian tersebut melibatkan unsur
internasional, maka memahami praktek-praktek kebiasaan internasional juga
sebaiknya dimengerti. Namun apabila unsur lokal sangat menentukan dalam
perjanjian tersebut, maka nilai-nilai lokal tidak dapat dikesampingkan begitu
saja. Unsur lokal atau internasional bisa pada subyek perjanjian atau obyek
dari perjanjian yang akan dibuat.
- Tahapan-tahapan Perancangan Perjanjian
Suatu Perjanjian tidak terjadi begitu saja, tetapi setelah melalui
tahapan-tahapan tertentu, maka kita perlu mengetahui tahapan-tahapan penyusunan
hingga berakhirnya suatu Perjanjian sebagai berikut:
1. Munculnya kesepakatan dasar diantara para pihak untuk membuat
Perjanjian;
2. Negosiasi atas rancangan Perjanjian;
3. Penandatanganan Perjanjian;
4. Penerapan Perjanjian; dan
5. Timbulnya perselisihan dalam Perjanjian.
Berikut ini adalah ulasan atas
tahapan-tahapan diatas
1. Munculnya kesepakatan diantara para pihak untuk membuat Perjanjian
Tahapan ini diawali melalui pembicaraan rencana pembuatan Perjanjian
diantara pihak-pihak dengan saling menjajaki hal yang disepakati dalam bisnis
sebelum menuangkannya dalam Perjanjian. Dalam bentuk formalnya penjajakan ini
biasanya dituangkan dalam bentuk Letter of Intent (LoI) atau Memorandum
of Understanding (MoU). Kesepakatan dalam LoI atau MoU belum merupakan
sebuah kesepakatan Perjanjian, sehingga tidak mengikat tetapi menjadi
garis-garis besar penyusunan Perjanjian.
2. Negosiasi atas Rancangan Perjanjian
Perjanjian memuat kepentingan para pihak dan karena kepentingan
pihak-pihak yang telibat dalam Perjanjian berbeda, maka untuk mencapai
kesepakatan perlu dilakukan persesuaian diantara kepentingan tersebut. Tahapan
ini diwarnai dengan tawar menawar keinginan masing-masing pihak. Karena tidak
semua kepentingan para pihak dapat disepakati, maka diperlukan kerelaan
masing-masing pihak untuk tidak terlalu memaksakan hal-hal yang sifatnya hakiki
dalam Perjanjian demi tercapainya kesepakatan. Tahapan ini merupakan tahapan
paling alot dan kesempatan bagi para pihak untuk mengetahui sejauh mana posisi
masing-masing kebutuhan dalam Perjanjian, hal-hal yang diprioritaskan,
kelemahan-kelemahan rancangan Perjanjian, dan tidak jarang diselingi dengan
penggunaaan kekuatan posisi untuk memaksa pihak lain menerima tawaran
kepentingannya. Dengan demikian klausul-klausul rancangan Perjanjian bisa
mengalami pengurangan dan/atau penambahan.
3. Penandatanganan Perjanjian
Hal-hal yang telah disepakati dalam negosiasi kemudian dituangkan dalam
bentuk akhir Perjanjian untuk ditandatangani oleh para pihak. Sebelum
Perjanjian ini ditandatangani, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pengecekan
akhir, untuk memastikan hal-hal yang dimuat dalam Perjanjian merupakan hal-hal
yang telah disepakati dalam tahapan perundingan, termasuk pengecekan terhadap pihak-pihak
yang menandatangani Perjanjian.
4. Penerapan Perjanjian
Perjanjian yang telah ditandatangani merupakan undang-undang bagi para
pihak, karena itu pelaksanaan Perjanjian tidak boleh keluar dari ha-hal yang
telah disepakati. Hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian hanya dapat
dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan Perjanjian, namun demikian
sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu diantara para pihak dan bila perlu
dilakukan kesepakatan tambahan sepanjang Perjanjian mengijinkannya.
Untuk memastikan pelaksanaan Perjanjian sesuai kesepakatan, maka para
pihak sepatutnya melakukan pengawasaan terhadap pelaksanaanya, demi mencegah
terjadinya wanprestasi yang berpotensi timbulnya perselisihan diantara para
pihak
5. Timbulnya Perselisihan Dalam Perjanjian
Kunci dari Perjanjian adalah kesepakatan dari para pihak. Perselisihan
dalam Perjanjian muncul karena adanya penerapan Perjanjian yang bertentangan
dengan kesepakatan dalam Perjanjian, atau tidak dipenuhinya hal-hal (prestasi) dalam
Perjanjian, bahkan tidak jarang perselisihan muncul akibat bunyi klausula
Perjanjian yang multitafsir dalam pelaksanannya yang disebabkan oleh penyusunan
Perjanjian yang tidak matang dan terukur. Sama halnya dengan hakekat
Perjanjian, maka hakekat penyelesaian perselisihan dalam Perjanjian adalah
kesepakatan diantara para pihak, baik oleh kemauan sendiri maupun karena hasil
putusan pihak atau badan yang disepakati untuk menyelesaikannya, sehingga dapat
dikatakan pada dasarnya suatu perselisihan menimbulkan perik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar