Kecerdasan
Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional dalam pengertian
Goleman tampaknya lebih ditujukan pada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan
emosi dalam porsi yang tepat. Hal lain yang juga penting dalam kecerdasan
emosional ini adalah upaya untuk mengelola emosi agar
terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama
yang terkait dengan hubungan antar manusia (Rostiana, 1997).
Reuven Baron (dalam Coleman, 2000) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi hambatan dan tekanan lingkungan.
Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berfikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri, dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Secapramana (1999) mengemukakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrolemosi agar seseorang mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
Kesimpulannya bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, pemecahan masalah, serta berpikir realistis sehingga mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
Kecerdasan emosional merupakan suatu konsep baru yang sampai saat ini belum ada definisi yang baku yang menerangkan. Telaah mengenai arti kecerdasan emosional biasanya terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan aspek pikiran dan emosi untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan (Seca Pramana, 1999).
Salovey dan Mayer tahun 1990 menerangkan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 1999).
Coleman (2000) mengartikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Menurut Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan, baik secara akademik maupun pekerjaan.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Salavey dan Mayer, ada lima aspek dalam kecerdasan emosional (dalam Coleman, 2000) yaitu :
a. Mengenali emosi diri, merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
b. Mengenali emosi diri yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat. Orang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang menimpanya.
c. Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik.
Menurut Goleman (2000) mengemukakan bahwa ada aspek kecerdasan emosional yaitu :
a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptuusan bagi diri sendiri.
b. Pengaturan diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi diri, kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.
d. Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe orang.
e. Ketrampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim.
Setelah membaca sedikit penjelasan mengenai kecerdasan emosional diatas, pasti para pembaca akan bertanya-tanya bagaimana kita bisa mengetahui kecerdasan emosi seseorang? Tidak begitu sulit untuk mengetahui kecerdasan emosional seseorang, anda dapat menggunakan Emotional Intelligence Self-Evaluation (EISE) yang merupakan instrumen tes psikologi yang dikembangkan untuk mengukur kapasitas kecerdasan emosional.
Reuven Baron (dalam Coleman, 2000) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi hambatan dan tekanan lingkungan.
Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berfikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri, dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Secapramana (1999) mengemukakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrolemosi agar seseorang mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
Kesimpulannya bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, pemecahan masalah, serta berpikir realistis sehingga mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
Kecerdasan emosional merupakan suatu konsep baru yang sampai saat ini belum ada definisi yang baku yang menerangkan. Telaah mengenai arti kecerdasan emosional biasanya terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan aspek pikiran dan emosi untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan (Seca Pramana, 1999).
Salovey dan Mayer tahun 1990 menerangkan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 1999).
Coleman (2000) mengartikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Menurut Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan, baik secara akademik maupun pekerjaan.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Salavey dan Mayer, ada lima aspek dalam kecerdasan emosional (dalam Coleman, 2000) yaitu :
a. Mengenali emosi diri, merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
b. Mengenali emosi diri yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat. Orang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang menimpanya.
c. Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik.
Menurut Goleman (2000) mengemukakan bahwa ada aspek kecerdasan emosional yaitu :
a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptuusan bagi diri sendiri.
b. Pengaturan diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi diri, kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.
d. Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe orang.
e. Ketrampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim.
Setelah membaca sedikit penjelasan mengenai kecerdasan emosional diatas, pasti para pembaca akan bertanya-tanya bagaimana kita bisa mengetahui kecerdasan emosi seseorang? Tidak begitu sulit untuk mengetahui kecerdasan emosional seseorang, anda dapat menggunakan Emotional Intelligence Self-Evaluation (EISE) yang merupakan instrumen tes psikologi yang dikembangkan untuk mengukur kapasitas kecerdasan emosional.
Kecerdasan
Spiritual (SQ)
setelah beberapa lama “Kecerdasan Intelektual “ yang lebih dikenal
dengan IQ menjadi peranan penting, muncul “Kecerdasan Emosional”
( EQ ) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman. Orang mulai
menyadari
bahwa kesuksesan dapat dicapai bila ada keseimbangan antara
“Kecerdasan Intelektual” dan “Kecerdasan Emosional” .
Kemudian Psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall
memunculkan
Q yang ketiga yaitu SQ yang merupakan landasan untuk memfungsikan
IQ dan
EQ secara efektif. Sependapat dengan mereka, SQ lebih tepat disebut
“Kecerdasan Spiritual” karena quotient adalah angka dari hasil
pembagian.
Buku mereka yang berjudul “SQ: Spiritual Intelligence – The
Ultimate Intelligence”
memuat bahwa Kecerdasan Spiritual tidak bisa dihitung karena
pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan
(hal 243).
Menurut mereka, kita hidup dalam budaya yang “bodoh secara
spiritual”.
Maksudnya, kita telah kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai
mendasar.
Kehidupan yang “ bodoh secara spiritual” ini ditandai dengan materialisme,
egoisme, kehilangan makna dan komitmen (hal 14). Bahkan dikatakan,
kekeringan spiritual terjadi sebagai produk dari IQ manusia yang
tinggi
(hal 20). Oleh karena itu, penting sekali kita meningkatkan SQ.
Apakah SQ itu ? Danah dan Ian dalam bukunya edisi Indonesia “SQ :
Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan
Holistik
untuk Memaknai Kehidupan” tidak memberikan batasan secara
definitif. Mereka
S
menekankan pada aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari
“Kecerdasan Spiritual”.
SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna
dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks
makna
yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang
lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Selanjutnya berlandasan pada beberapa ahli psikologi ( Sigmund
Freud,
C.G. Jung ), neurolog ( Persinger, Ramachandran ) dan filosof (
Daniel Dennett,
Rene Descartes ), Danah dan Ian membahas lebih dalam mengenai “Kecerdasan
Spiritual”. “Kecerdasan Spiritual” disimbolkan sebagai Teratai
Diri yang
menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia ( rasional, emosional,
dan
spiritual ), tiga pemikiran ( seri, asosiatif, dan penyatu ), tiga
jalan dasar
pengetahuan ( primer, sekunder, dan tersier ) dan tiga tingkatan
diri ( pusattranspersonal,
tengah-asosiatif & interpersonal, dan pinggiran-ego personal
). Dengan demikian SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian
diri
manusia yang paling dalam menjadi pemersatu seluruh bagian diri
manusia
lain.
SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita
yang
berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ
menjadikan
manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan
spiritual.
SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat
membantu
manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.
Namun, pada zaman sekarang ini terjadi krisis spiritual karena
kebutuhan
makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia terasa dangkal dan
hampa.
(hal 16) Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat
secara
spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya
sendiri
sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak
proporsional, dan bertentangannya / buruknya hubungan antara
bagian-bagian.
Apa usaha kita untuk mengatasinya ? Danah dan Ian memberikan “Enam
Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh
Langkah
Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik”. Enam Jalan tersebut yaitu
jalan tugas,
jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi,
jalan
persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian.(hal 197)
Sedangkan Tujuh Langkah Menuju Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggi
adalah
(1) menyadari di mana saya sekarang, (2) merasakan dengan kuat
bahwa
saya ingin berubah, (3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan
apakah
motivasi saya yang paling dalam, (4) menemukan dan mengatasi
rintangan,
(5) menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju, (6)
menetapkan
hati saya pada sebuah jalan, (7) tetap menyadari bahwa ada banyak
jalan.
Bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda
yang
akan terlihat pada diri seseorang adalah (1) kemampuan bersikap
fleksibel,
(2) tingkat kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi
dan
memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan untuk menghadapi dan
melampaui
rasa sakit, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan
nilai-nilai, (6)
keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7)
kecenderungan
untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan
holistik), (8)
kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana
jika?” untuk
mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan untuk
bekerja
melawan konvensi.
Secara garis besar, saya sependapat dengan Danah dan Ian bahwa
manusia
harus meningkatkan “Kecerdasan Spiritual” untuk mengatasi krisis
spiritual
yang melanda dunia, khususnya di dunia barat. Namun, bagaimana
hubungan
antara SQ dan Agama ? Karena sebagai orang beragama kita selalu
berpegang
pada Firman Allah.
Danah dan Ian berpendapat bahwa SQ tidak mesti berhubungan dengan
agama. Banyak orang Humanis dan Ateis yang memiliki SQ sangat
tinggi.
(hal 8)
Agama formal hanya seperangkat aturan dan kepercayaan yang
dibebankan
secara eksternal. Sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaan
otak
dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta
sendiri.
Dikatakan pula, SQ tidak bergantung pada budaya maupun nilai,
tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu
sendiri.
SQ membuat agama menjadi mungkin ( bahkan mungkin perlu ), tetapi
SQ
tidak bergantung pada agama. (hal 9)
Muncul pertanyaan bagi saya, kalau SQ sebagai kecerdasan jiwa
tidak
bergantung pada agama, di mana agama diletakkan ? Karena bagi orang
Kristen, agama sebagai iman kepada Allah merupakan basis dari
semua
kehidupan.
SQ memang dapat membantu orang untuk menguatkan kehidupan
keagamaannya, tapi tanpa dilandasi agama maka orang tersebut
menjadi
“humanis”. Di sinilah letak perbedaan antara SQ dan ajaran agama
Kristen.
SQ memandang manusia sebagai manusia psikologis sedangkan ajaran
agama
Kristen menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang
segambar
dengan Allah.
Dalam agama Kristen ada yang disebut Spiritus. Seperti juga SQ
yang
memerlukan latihan, maka organ spiritus ( kebajikan teologal,
imanpengharapan-
kasih, karunia roh kudus ) perlu dilatih supaya berkembang. Orang
yang spiritusnya hidup, pada suatu hari akan menyadari karya Allah
dalam
dirinya. Orang itu akan mengalami “Terang Allah, cinta, dan
damai-Nya”.
Mungkinkah ini yang dimaksud Danah dan Ian dengan Kecerdasan
Spiritual
seperti cerita nelayan Meksiko dan pengusaha Amerika ?
Diceritakan bahwa seorang pengusaha Amerika mencemooh gaya hidup
seorang nelayan Meksiko. “Saya tidur larut, memancing sebentar,
bermain
dengan anak-anak saya, tidur siang bersama istri saya, Maria,
jalan-jalan ke
desa setiap malam untuk menyesap anggur dan bermain gitar bersama
kawankawan
saya. Saya mempunyai kehidupan yang lengkap dan sibuk, Senor,” kata
nelayan Meksiko. Pengusaha Amerika itu mengatakan bahwa Ia seorang
MBA
lulusan Harvard dapat menolong nelayan tersebut menjadi pengusaha
besar
dalam waktu 15 s.d. 20 tahun dan pindah ke Los Angeles atau
NewYork. Tapi
sang nelayan menanyakan apa yang dilakukan setelah itu. Sang
pengusaha
menjawab bahwa ia dapat menjual perusahaannya, menjadi kaya dan
pindah
ke desa untuk melakukan seperti apa yang dilakukan nelayan itu
sekarang.
(hal 250)
Danah dan Ian melihat bahwa sang nelayan merupakan contoh seseorang
yang cerdas secara spiritual. Ia memiliki pemahaman yang cerdas
mengenai
tujuan hidupnya sendiri yang dianggapnya penting, ia merasa damai.
Sang
nelayan terlihat tidak berambisi untuk mendapatkan sesuatu lebih
banyak. Ia
merasa sudah cukup dengan apa yang didapatkan setiap harinya.
Apakah dapat
dikatakan bahwa sang nelayan bersikap “pasrah kepada Tuhan”
seperti yang
tertulis dalam Matius 6:34 yaitu “Sebab itu janganlah kamu
khawatir akan hari
besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan
sehari
cukuplah untuk sehari” ?
Danah dan Ian memang tidak berlandaskan agama dalam membahas
“kecerdasan spiritual”. Dengan latar belakang pendidikan mereka,
Danah
mempunyai pendidikan di bidang fisika, filsafat, psikologi dan
teologi dan Ian
adalah seorang psikiater yang meraih gelar di bidang psikologi dan
filsafat,
mereka menempatkan agama sebagai salah satu cara memperoleh
kecerdasan
spiritual yang tinggi. Mereka mengajak kita untuk memahami
pentingnya
kecerdasan spiritual sebagai landasan IQ dan EQ, mengingat krisis
makna
yang sedang melanda dunia. Mereka berpendapat bahwa kecerdasan
spiritual
berkaitan dengan makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Orang
dapat
menemukan makna hidup dari bekerja, belajar, berkarya bahkan saat
menghadapi masalah atau penderitaan.
Mungkin terjadi, seorang ateis memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi
karena seperti IQ dan EQ, maka SQ pun merupakan potensi manusiawi.
Oleh
karena itu, lebih baik ketiga potensi tersebut dilandasi oleh
agama. Mereka
masih perlu melengkapi kajian mengenai kecerdasan spiritual dalam
bentuk
penerapannya dalam hidup sehari-hari. Selain itu sejauh mana
keberadaan
SQ yang ada dalam diri manusia masih perlu dikaji mengingat mereka
berasal
dari kultur yang berbeda dengan kita.
Kecerdasan Intelektual
(IQ)
Orang sering kali
menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah
ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David
Wechsler,inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara
terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan
mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu,
inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan
dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dariIntelligence Quotient,
adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ
hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak
menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari
pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd
Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan
oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ
tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan
intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada
dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing
individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur
kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan
intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita.
Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita.
Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh
cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15
triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak
satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan.
Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk
orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami
penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan
seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient)
memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar
umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic)
yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang
cukup.
IQ atau daya tangkap ini
dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab
kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi
memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang
kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping
faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan
emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai
berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak
dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan
bahasanya akan cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan umum,
atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia Mental Anak
|
x 100 = IQ
|
Usia Sesungguhnya
|
Contoh : Misalnya
anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru
bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia
Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.
Interpretasi atau
penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN
|
IQ
|
Genius
|
Di atas 140
|
Sangat Super
|
120 - 140
|
Super
|
110 - 120
|
Normal
|
90 -110
|
Bodoh
|
80 - 90
|
Perbatasan
|
70 - 80
|
Moron / Dungu
|
50 - 70
|
Imbecile
|
25-50
|
Idiot
|
0 - 25
|
RESUME
Pengantar
pendidikan
DISUSUN OLEH :
NAMA : NURMALITA
NIM : 06101005010
DOSEN
PENGASUH : Dra. Harlina M.Sc
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2010/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar