Kamis, 28 Juni 2012

Macam-Macam Kecerdasan




Kecerdasan emosional dalam pengertian Goleman tampaknya lebih ditujukan pada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat. Hal lain yang juga penting dalam kecerdasan emosional ini adalah upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia (Rostiana, 1997).

Reuven Baron (dalam Coleman, 2000) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi hambatan dan tekanan lingkungan.

Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berfikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri, dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Secapramana (1999) mengemukakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrolemosi agar seseorang mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.

Kesimpulannya bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, pemecahan masalah, serta berpikir realistis sehingga mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.

Kecerdasan emosional merupakan suatu konsep baru yang sampai saat ini belum ada definisi yang baku yang menerangkan. Telaah mengenai arti kecerdasan emosional biasanya terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan aspek pikiran dan emosi untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan (Seca Pramana, 1999).
Salovey dan Mayer tahun 1990 menerangkan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 1999).

Coleman (2000) mengartikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.

Menurut Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan, baik secara akademik maupun pekerjaan.

Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Salavey dan Mayer, ada lima aspek dalam kecerdasan emosional (dalam Coleman, 2000) yaitu :
a. Mengenali emosi diri, merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
b. Mengenali emosi diri yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat. Orang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang menimpanya.
c. Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik.

Menurut Goleman (2000) mengemukakan bahwa ada aspek kecerdasan emosional yaitu :
a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptuusan bagi diri sendiri.
b. Pengaturan diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi diri, kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.
d. Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe orang.
e. Ketrampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim.

Setelah membaca sedikit penjelasan mengenai kecerdasan emosional diatas, pasti para pembaca akan bertanya-tanya bagaimana kita bisa mengetahui kecerdasan emosi seseorang? Tidak begitu sulit untuk mengetahui kecerdasan emosional seseorang, anda dapat menggunakan Emotional Intelligence Self-Evaluation (EISE) yang merupakan instrumen tes psikologi yang dikembangkan untuk mengukur kapasitas kecerdasan emosional













Kecerdasan Spiritual (SQ)

setelah beberapa lama “Kecerdasan Intelektual “ yang lebih dikenal
dengan IQ menjadi peranan penting, muncul “Kecerdasan Emosional”
( EQ ) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman. Orang mulai menyadari
bahwa kesuksesan dapat dicapai bila ada keseimbangan antara
“Kecerdasan Intelektual” dan “Kecerdasan Emosional” .
Kemudian Psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall memunculkan
Q yang ketiga yaitu SQ yang merupakan landasan untuk memfungsikan IQ dan
EQ secara efektif. Sependapat dengan mereka, SQ lebih tepat disebut
“Kecerdasan Spiritual” karena quotient adalah angka dari hasil pembagian.
Buku mereka yang berjudul “SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence”
memuat bahwa Kecerdasan Spiritual tidak bisa dihitung karena
pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan
(hal 243).
Menurut mereka, kita hidup dalam budaya yang “bodoh secara spiritual”.
Maksudnya, kita telah kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar.
Kehidupan yang “ bodoh secara spiritual” ini ditandai dengan materialisme,
egoisme, kehilangan makna dan komitmen (hal 14). Bahkan dikatakan,
kekeringan spiritual terjadi sebagai produk dari IQ manusia yang tinggi
(hal 20). Oleh karena itu, penting sekali kita meningkatkan SQ.
Apakah SQ itu ? Danah dan Ian dalam bukunya edisi Indonesia “SQ :
Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Kehidupan” tidak memberikan batasan secara definitif. Mereka
S
menekankan pada aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari
“Kecerdasan Spiritual”.
SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna
dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Selanjutnya berlandasan pada beberapa ahli psikologi ( Sigmund Freud,
C.G. Jung ), neurolog ( Persinger, Ramachandran ) dan filosof ( Daniel Dennett,
Rene Descartes ), Danah dan Ian membahas lebih dalam mengenai “Kecerdasan
Spiritual”. “Kecerdasan Spiritual” disimbolkan sebagai Teratai Diri yang
menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia ( rasional, emosional, dan
spiritual ), tiga pemikiran ( seri, asosiatif, dan penyatu ), tiga jalan dasar
pengetahuan ( primer, sekunder, dan tersier ) dan tiga tingkatan diri ( pusattranspersonal,
tengah-asosiatif & interpersonal, dan pinggiran-ego personal
). Dengan demikian SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri
manusia yang paling dalam menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia
lain.
SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang
berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ menjadikan
manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.
SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu
manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.
Namun, pada zaman sekarang ini terjadi krisis spiritual karena kebutuhan
makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia terasa dangkal dan hampa.
(hal 16) Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara
spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri
sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak
proporsional, dan bertentangannya / buruknya hubungan antara bagian-bagian.
Apa usaha kita untuk mengatasinya ? Danah dan Ian memberikan “Enam
Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh Langkah
Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik”. Enam Jalan tersebut yaitu jalan tugas,
jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi, jalan
persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian.(hal 197)
Sedangkan Tujuh Langkah Menuju Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggi adalah
(1) menyadari di mana saya sekarang, (2) merasakan dengan kuat bahwa
saya ingin berubah, (3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah
motivasi saya yang paling dalam, (4) menemukan dan mengatasi rintangan,
(5) menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju, (6) menetapkan
hati saya pada sebuah jalan, (7) tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
Bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang
akan terlihat pada diri seseorang adalah (1) kemampuan bersikap fleksibel,
(2) tingkat kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
rasa sakit, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6)
keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan
untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), (8)
kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk
mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan untuk bekerja
melawan konvensi.
Secara garis besar, saya sependapat dengan Danah dan Ian bahwa manusia
harus meningkatkan “Kecerdasan Spiritual” untuk mengatasi krisis spiritual
yang melanda dunia, khususnya di dunia barat. Namun, bagaimana hubungan
antara SQ dan Agama ? Karena sebagai orang beragama kita selalu berpegang
pada Firman Allah.
Danah dan Ian berpendapat bahwa SQ tidak mesti berhubungan dengan
agama. Banyak orang Humanis dan Ateis yang memiliki SQ sangat tinggi.
(hal 8)
Agama formal hanya seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan
secara eksternal. Sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaan otak
dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri.
Dikatakan pula, SQ tidak bergantung pada budaya maupun nilai,
tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
SQ membuat agama menjadi mungkin ( bahkan mungkin perlu ), tetapi SQ
tidak bergantung pada agama. (hal 9)
Muncul pertanyaan bagi saya, kalau SQ sebagai kecerdasan jiwa tidak
bergantung pada agama, di mana agama diletakkan ? Karena bagi orang
Kristen, agama sebagai iman kepada Allah merupakan basis dari semua
kehidupan.
SQ memang dapat membantu orang untuk menguatkan kehidupan
keagamaannya, tapi tanpa dilandasi agama maka orang tersebut menjadi
“humanis”. Di sinilah letak perbedaan antara SQ dan ajaran agama Kristen.
SQ memandang manusia sebagai manusia psikologis sedangkan ajaran agama
Kristen menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang segambar
dengan Allah.
Dalam agama Kristen ada yang disebut Spiritus. Seperti juga SQ yang
memerlukan latihan, maka organ spiritus ( kebajikan teologal, imanpengharapan-
kasih, karunia roh kudus ) perlu dilatih supaya berkembang. Orang
yang spiritusnya hidup, pada suatu hari akan menyadari karya Allah dalam
dirinya. Orang itu akan mengalami “Terang Allah, cinta, dan damai-Nya”.
Mungkinkah ini yang dimaksud Danah dan Ian dengan Kecerdasan Spiritual
seperti cerita nelayan Meksiko dan pengusaha Amerika ?
Diceritakan bahwa seorang pengusaha Amerika mencemooh gaya hidup
seorang nelayan Meksiko. “Saya tidur larut, memancing sebentar, bermain
dengan anak-anak saya, tidur siang bersama istri saya, Maria, jalan-jalan ke
desa setiap malam untuk menyesap anggur dan bermain gitar bersama kawankawan
saya. Saya mempunyai kehidupan yang lengkap dan sibuk, Senor,” kata
nelayan Meksiko. Pengusaha Amerika itu mengatakan bahwa Ia seorang MBA
lulusan Harvard dapat menolong nelayan tersebut menjadi pengusaha besar
dalam waktu 15 s.d. 20 tahun dan pindah ke Los Angeles atau NewYork. Tapi
sang nelayan menanyakan apa yang dilakukan setelah itu. Sang pengusaha
menjawab bahwa ia dapat menjual perusahaannya, menjadi kaya dan pindah
ke desa untuk melakukan seperti apa yang dilakukan nelayan itu sekarang.
(hal 250)
Danah dan Ian melihat bahwa sang nelayan merupakan contoh seseorang
yang cerdas secara spiritual. Ia memiliki pemahaman yang cerdas mengenai
tujuan hidupnya sendiri yang dianggapnya penting, ia merasa damai. Sang
nelayan terlihat tidak berambisi untuk mendapatkan sesuatu lebih banyak. Ia
merasa sudah cukup dengan apa yang didapatkan setiap harinya. Apakah dapat
dikatakan bahwa sang nelayan bersikap “pasrah kepada Tuhan” seperti yang
tertulis dalam Matius 6:34 yaitu “Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari
besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari
cukuplah untuk sehari” ?
Danah dan Ian memang tidak berlandaskan agama dalam membahas
“kecerdasan spiritual”. Dengan latar belakang pendidikan mereka, Danah
mempunyai pendidikan di bidang fisika, filsafat, psikologi dan teologi dan Ian
adalah seorang psikiater yang meraih gelar di bidang psikologi dan filsafat,
mereka menempatkan agama sebagai salah satu cara memperoleh kecerdasan
spiritual yang tinggi. Mereka mengajak kita untuk memahami pentingnya
kecerdasan spiritual sebagai landasan IQ dan EQ, mengingat krisis makna
yang sedang melanda dunia. Mereka berpendapat bahwa kecerdasan spiritual
berkaitan dengan makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Orang dapat
menemukan makna hidup dari bekerja, belajar, berkarya bahkan saat
menghadapi masalah atau penderitaan.
Mungkin terjadi, seorang ateis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi
karena seperti IQ dan EQ, maka SQ pun merupakan potensi manusiawi. Oleh
karena itu, lebih baik ketiga potensi tersebut dilandasi oleh agama. Mereka
masih perlu melengkapi kajian mengenai kecerdasan spiritual dalam bentuk
penerapannya dalam hidup sehari-hari. Selain itu sejauh mana keberadaan
SQ yang ada dalam diri manusia masih perlu dikaji mengingat mereka berasal
dari kultur yang berbeda dengan kita.
Kecerdasan Intelektual (IQ)

Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler,inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dariIntelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia Mental Anak
x 100 = IQ
Usia Sesungguhnya
Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.
Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN
IQ
Genius
Di atas 140
Sangat Super
120 - 140
Super
110 - 120
Normal
90 -110
Bodoh
80 - 90
Perbatasan
70 - 80
Moron / Dungu
50 - 70
Imbecile
25-50
Idiot
0 - 25















RESUME
Pengantar pendidikan

DISUSUN OLEH :
                   NAMA                          : NURMALITA
                   NIM                               : 06101005010
                   DOSEN PENGASUH : Dra. Harlina M.Sc

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2010/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar