PENGECUALIAN BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN PERJANJIAN EKSTRADISI
Dalam Kitab Undan-undang Hukum Pidana (KUHP) Oleh : Prop. Moeljatno,SH. di jelaskan tentang aturan umum yang pada Bab.1 Tentang Batas Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam PerUndandang-Undangan yang di dalamnya meliputi berbagai aturan yang mengatur hidup dan kehidupan manusia secarAa umum dengan pemaparan beberapa pasal-pasal yang mengaturnya, seperti di bawah ini;
Pasal 1.
(1) Tiada sesuatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidanadalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan di lakukan.
(2) Jika sesudah perbuatan sudah di lakukan ada perbuatan dalam perundang-undangan, di pakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Pasal 2.
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.
Pasal 3.
Aturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap ornga yang berada di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.
:Bunyi pasal 3 ini telah di ubah dengan UU no.4 th 1976 menjadi, sebagai berikut:
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melekukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 4.
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan:
Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal: 104,106,107,108,110,111 bis ke-1, 127 dan 131;
Ke-3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu,dan tanda yang di keluarkan sebagai pengganti surat tersebut; atau menggunakan surat-surat tersebut di atas yang palsu atau di palsukan, seolah-olah tulen dan tidak palsu;
Ke-4. salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal 438,444-446 mengenai pembajakan laut dan tersebut pasal 447 mengenai penyerahan kapal dalam kekuasaan bajak laut.
:Pasal 4 angka 4 telah di ubah dengan UU no.4 th 1976 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Ke-2. Salah satu kejahatan mengenai mata uangatau uang kertas yang di keluarkan atau negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang di keluarkan dan merek yang di keluarkan oleh pemerintah Indonesia;
Ke-4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446, tentang pembajakan lautdan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l,m,n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 5.
(1) Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab 1 dan 2 Buku ke 2 dan pasal-pasal: 160,161,240,279,450, dan 451;
Ke-2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan indonesia di pandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan di lakukan, di ancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagai di maksud dalam ke-2 dapat di lakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 6.
Berlakunya pasal 5 ayat(1) ke-2 di batasi sedemikian rupa sehingga tidak di jatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan di lakukan, terhadapnya tidak di ancam dengan pidana mati.
Pasal 7.
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut Bab XXIX Buku ke dua, dan Bab IX buku ke 3; begitupun pula yang tersebut dalam mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam "Schepen Ordonnantie 1927".
Pasal 9.
Berlakunya pasal 2-5 7 dan 8 di batasi oleh pengecualian yang di akui oleh hukum internasional.
Nah itu lah Batas batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam PerUndandang-Undangan - Hukum PIdana - Aturan Umum KUHPidana - Isi KUHPidana Buku kesatu Bab 1 mengenai aturan umum - Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. ikuti juga Untuk Bab selanjutnya dengan Bab ke 2 dari buku kesatu KUHPidana oleh: Prof. Moeljatno, S.H. yang akan sajikan dalam postingan selanjutnya, dan hanya disini, di jadilah.com
Sumber: KUHPidana oleh: Moeljatno, S.H.
Ø
Pembatasan (pengecualian) Menurut Hukum Internasional
1. Pengaruh hukum Internasional
Pasal 9 KUHP:
“berlakunya pasal 2 sampai dengan 5, 7 dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional”
Hak
exterritorialitas merupakan suatu fiksi seakan-akan dimanapun mereka
berada/bertugas selalu dianggap sebagai berada di negeri nya sendiri
2.
Orang-orang yang mempunyai hak-hak exterritorialitas (kekebalan
hukum)
·
kepala negara asing ; kecuali berkunjung tanpa
undangan tidak dapat mendapat kekebalan hukum begitu juga dengan
keluarga, dan pengawal
·
duta asing
·
konsul asing
·
anggota kesatuang angkatan perang asing yang
bertugas/berkunjung ke suatu negara atas persetujuan pemerintah negara yang
dikunjungi
3.
Hak exterritorialitas dikaitkan dengan tempat
·
kedutaan asing meliputi ; gedung, pekarangan
tertutup dan segala benda yang ada diatasnya
·
benda-benda bergerak yang dikuasai oleh
oknum-oknum yang mempunyai hak exterritorialitas ; dokumen, arsip-arsip,
pengangkutan dan lain sebagainya
·
kapal-kapal perang asing dan kapal-kapalasing
yang digunakan dalam rangka tugas kenegaraan
Ø
Pengecualian-pengecualian Berlakunya Ketentuan Pidana Berdasarkan
Hukum Nasional
Dalam
hukum nasional terdapat juga pengecualian-pengecualian ; tidak dapat
dituntutnya seorang anggota DPR/MPR karena hal-hal yang dikatakannya dalam
sidang DPR/MPR dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat
Ø Perjanjian Ekstradisi
1.
Pengertian
ekstradisi
Kata Ekstradisi berasal dari bahasa latin
"extradere" (kata kerja) yang terdiri dari kata "ex"
artinya keluar dan "Tradere" artinya memberikan (menyerahkan, kata
bendanya "Extradio" yang artinya penyerahan. Istilah ekstradisi ini
lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku
kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979, Ekstradisi adalah
penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan suatu kejehatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya.
Pada umumnya, ekstradisi adalah
sebagai akibat dari hak asylum yaitu tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai
tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus
batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan
terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan
pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat
dilaksanakan.
2.
Prosedur
dan implementasi ekstradisi
Pada umumnya setiap negara merasakan perlunya kerjasama
antara negara dalam upaya pencarian, penangkapan dan penyerahan pelaku
kejahatan. Untuk tujuan tersebut masing-masing negara membuat Undang-undang
Ekstradisi dan membuat Perjanjian Ekstradisi dengan negara lain. Indonesia
mempunyai Undang-undang Ekstradisi No. 1 Tahun 1979 dan mempunyai Perjanjian
Ekstradisi dengan Malaysia, Thailand, Philipina, Australia, Hongkong (sudah
diratifikasi) serta Korea Selatan dan Singapura (belum diratifikasi).
Melihat proses ekstradisi mulai dari awal sampai dengan
dilakukannya penyerahan pelaku kejahatan dari Negara Diminta kepada Negara
Peminta, ada 3 (tiga) tahapan yang harus dilalui yaitu:
- Tahap I: Pra Ekstradisi
- Tahap II: Proses Ekstradisi
- Tahap III: Pelaksanaan Ekstradisi
3. Pelaksanaan
ekstradisi
Untuk untuk pencarian dan penangkapan pelaku kejahatan yang
melarikan diri ke luar negeri, selama ini dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan
melalui kerjasama Interpol. Apabila buronan tersebut tertangkap di negara lain
maka untuk pengembaliannya ke Indonesia harus ditempuh melalui proses
ekstradisi. Pengertian ekstradisi menurut UU RI No.1 Tahun 1979 pasal 1 adalah
“penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena telah melakukan suatu
kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkaqn dan di dalam yurisdiksi
wilayah negara yang meminta penyertaan tersebut karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya.”
Penyerahan atau ekstradisi pelaku kejahatan dari negara
diminta kepada negara peminta sering mengalami kendala atau tidak dapat
dilakukan karena alasan belum ada perjanjian ekstradisi. Banyak negara, terutama
negara-negara Eropah, sesuai dengan undang-undang nasional negara mereka,
ekstradisi hanya dapat dilakukan jika negara peminta dan negara mereka telah
mempunyai perjanjian ekstradisi.