Lembaga-lembaga Negara
1.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dalam konteks global, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) boleh dinamakan “unik” karena merupakan lembaga perwakilan yang
kedudukannya di atas parlemen (Dewan Perwakilan Daerah).
MPR adalah pemegang kekuasaan Negara tertinggi atau
pemegang kedaulatan rakyat.
Pada masa orde lama, MPR ini telah dipakai untuk
memperkukuh ideologi manipol usdek dan menyatakan presiden soekarno sebagai
presiden seumur hidup.
MPR orde baru hasil Sidang Umum I (1966) di bawah
demokrasi pancasila membuktikan bahwa anggota MPRS merasa dirinya berhak
mengoreksi beberapa keputusan MPRS sebelumnya. Untuk itu beberapa keputusan orde
lama, antara lain TAP MPRS No. III/MPRS/1963 yang menyatakan Presiden Soekarno
sebagai presiden seumur hidup,dibatalkan.
Kekuasaan yang besar dari MPR dalam praktik
ketatanegaraan, tidak jarang diselewengkan atau di[ergunakan sebagai alat
memperbesar kekuasaan presiden diluar ketentuan UUD 1945.
Praktik-praktik yang melanggar UUD di atas, menyebabkan
MPR dalam sidang tahunan 2001 memutuskan meniadakan Pasal 1 ayat (2) lama dan
menggantinya menjadi ; “Kedaulatan di tangan rakyat dan di lakukan menurut
UUD”. Perubahan itu mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi Negara, dan tidak lagi memegang kedaulatan rakyat sebagaimana
di atur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi Negara secara konseptual ingin menegaskan, bahwa MPR bukan
satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Susunan MPR pun mengalami perubahan, seperti pada pasal 2
ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dimaksudkan supaya seluruh rakyat, golongan,
dan daerah akan mempunyai wakil dalam majelis sehingga majelis itu akan
betul-betul dapat dianggap sebagaai penjelmaan rakyat.
Di masa orde lama, jumlah anggota MPR hanya 609; pada
awal demokrasi pancasila (1966) jumlah anggota MPR hanya 545 dan pada sidang
MPR (1968) berjumlah 828. Di masa orde baru, jumlah anggota MPR terus bertambah
dari 545 pada 1966 menjadi 1000 pada 1987, 1992, 1997. Pada tahun 1999 terjadi
pengurangan anggota MPR dari 1000 menjadi 700 orang.
Pembahasan perubahan UUD 1945 berlangsung a lot. Pada
pengambilan putusan terhadap materi rancangan perubahan UUD 1945 terjadi 1 kali
pemungutan suara terhadap rumusan Pasal 2 ayat (1) mengenai susunan keanggotaan
MPR.
Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsure utusan
golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Hal itu disebabkan, Pertama,
tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah
menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang
mengangkat.
Di banyak Negara, dua kamar dalam sistem bicameral itu
terdiri dari majelis rendah (Lower House) dan majelis tinggi (Upper house).
Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bicameral
dihubungkan dengan bentuk tujuan Negara federasi yang memerlukan dua kamar
majelis. Dua alsan utama yang dapat dikemukakan penggunaan sistem bicameral ini
adalah :
a.
Adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan
yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislative
b.
Keinginan untuk membuat sistem
parlementer berjalan, jika tidak lebih efisien, setidak-tidaknya lebih lancer,
melalui suatu majelis yang disebut revising chamber.
Penerapan
sistem bicameral itu, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi,
kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan yang bersangkutan. Jadi, sebenarnya tidak
banyak perbedaan apakah sistem unicameral atau bicameral yang digunakan dalam
Negara kesatuan atau federasi itu.
Ada
Negara yang menjalankan sistem dua kamar karena latar belakang kesejahteraan.
Inggris menjalankan sistem dua kamar, antara lain untuk tetap memelihara
kehadiran perwakilan kaum bangsawan, disamping rakyat umum.
Sistem
dua kamar di Amerika Serikat merupakan hasil kompromi antara Negara bagian yang
berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit.
Perubahan
susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan
sistem dua kamar (bicameral). Akan tetapi, dari susunan yang menyebutkanterdiri
darianggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Dalam
susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan
DPD.
Salah
satu konsekuensi gagasan dua kamar perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan
dua unsur perwakilan tersebut. Nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua
kamar di Indonesia tetap menggunakan Majelis Permusyawaratn Rakyat (MPR).
Sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai nama sistem dua kamar,MPR tidak
lagi menjadi suatu lingkungan jabatan yang memiliki lingkungan wewenang
sendiri.
Dengan
memerhatikan ketentuan-ketentuan baru dalam UUD 1945, tidak tampak perwujudan
gagasan sistem dua kamar. Alasannya, Pertama, walaupun ada perubahan, MPR tetap
merupakan lingkungan jabatan sendiri. Kedua, sepintas lalu, DPD merupakan
lingkungan jabatan yang mandiri dan memiliki lingkungan wewenang sendiri.
Ketiga, DPD bukan badan legislatif penuh.
Perubahan-perubahan
mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia terjadi mengenai hal-hal
sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural.
Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR
juga mengalami perubahan dasar. Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan
secara tegas antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif dalam perubahan UUD
1945. Keempat, dengan diadopsinya prinsip pemilihan presiden dan wakil presiden
dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
Perubahan
mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2). Hal tersebut menimbulkan reaksi keras
dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok
Purnawirawan ABRI, dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai,
hal tersebut meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sebagai
pemegang kedaulatan rakyat.. Akan tetapi pandangan itu ditolak oleh sebagian
kelompok yang lain, eksistensi MPR tidak akn hilang, tetapi berubah fungsi
sebagai forum dan bukan sebagai lembaga.
Hingga
kini, perwujudan sistem perwakilan di Indonesia dalam bentuk MPR memberikan
kesan Indonesia menganut sistem unicameral berciri bikameral. Unikameral
berciri bikameral tak cukup meyakinkan untuk menjelaskan watak parlemen
Indonesia.
Perubahan
UUD 1945 terhadap pasal 3 rumusan baru berbunyi sebagai berikut :
1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
2) Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik presiden dan/atau wakil presiden.
3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentika presiden dan/atau wakil
presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan
ketentuan baru ini, secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam
sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertiksal hierarki dengan prinsip
supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi
dan saling mengawasi antarlembaga Negara (checks and balances).
Perubahan
UUD 1945 juga terjadi pada pasal 37 yang mengatur mekanisme perubahan UUD,
rumusannya berbunyi sebagai berikut :
1)
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya
1/3 dari jumlah anggota MPR.
2)
Setiap usul perubahan UUD diajukan
secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya.
3)
Untuk mengubah paspal-pasal UUD, sidang
MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari
seluruh anggota MPR.
5)
Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat
dilakukan perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar