Jumat, 29 Juni 2012

Lembaga-lembaga Negara


Lembaga-lembaga Negara
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
            Dalam konteks global, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) boleh dinamakan “unik” karena merupakan lembaga perwakilan yang kedudukannya di atas parlemen (Dewan Perwakilan Daerah).
            MPR adalah pemegang kekuasaan Negara tertinggi atau pemegang kedaulatan rakyat.
            Pada masa orde lama, MPR ini telah dipakai untuk memperkukuh ideologi manipol usdek dan menyatakan presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup.
            MPR orde baru hasil Sidang Umum I (1966) di bawah demokrasi pancasila membuktikan bahwa anggota MPRS merasa dirinya berhak mengoreksi beberapa keputusan MPRS sebelumnya. Untuk itu beberapa keputusan orde lama, antara lain TAP MPRS No. III/MPRS/1963 yang menyatakan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup,dibatalkan.
            Kekuasaan yang besar dari MPR dalam praktik ketatanegaraan, tidak jarang diselewengkan atau di[ergunakan sebagai alat memperbesar kekuasaan presiden diluar ketentuan UUD 1945.
            Praktik-praktik yang melanggar UUD di atas, menyebabkan MPR dalam sidang tahunan 2001 memutuskan meniadakan Pasal 1 ayat (2) lama dan menggantinya menjadi ; “Kedaulatan di tangan rakyat dan di lakukan menurut UUD”. Perubahan itu mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, dan tidak lagi memegang kedaulatan rakyat sebagaimana di atur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
            Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara secara konseptual ingin menegaskan, bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
            Susunan MPR pun mengalami perubahan, seperti pada pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dimaksudkan supaya seluruh rakyat, golongan, dan daerah akan mempunyai wakil dalam majelis sehingga majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagaai penjelmaan rakyat.
            Di masa orde lama, jumlah anggota MPR hanya 609; pada awal demokrasi pancasila (1966) jumlah anggota MPR hanya 545 dan pada sidang MPR (1968) berjumlah 828. Di masa orde baru, jumlah anggota MPR terus bertambah dari 545 pada 1966 menjadi 1000 pada 1987, 1992, 1997. Pada tahun 1999 terjadi pengurangan anggota MPR dari 1000 menjadi 700 orang.
            Pembahasan perubahan UUD 1945 berlangsung a lot. Pada pengambilan putusan terhadap materi rancangan perubahan UUD 1945 terjadi 1 kali pemungutan suara terhadap rumusan Pasal 2 ayat (1) mengenai susunan keanggotaan MPR.
            Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsure utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Hal itu disebabkan, Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat.
            Di banyak Negara, dua kamar dalam sistem bicameral itu terdiri dari majelis rendah (Lower House) dan majelis tinggi (Upper house).
            Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bicameral dihubungkan dengan bentuk tujuan Negara federasi yang memerlukan dua kamar majelis. Dua alsan utama yang dapat dikemukakan penggunaan sistem bicameral ini adalah :
a.       Adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislative
b.      Keinginan untuk membuat sistem parlementer berjalan, jika tidak lebih efisien, setidak-tidaknya lebih lancer, melalui suatu majelis yang disebut revising chamber.
Penerapan sistem bicameral itu, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan yang bersangkutan. Jadi, sebenarnya tidak banyak perbedaan apakah sistem unicameral atau bicameral yang digunakan dalam Negara kesatuan atau federasi itu.
Ada Negara yang menjalankan sistem dua kamar karena latar belakang kesejahteraan. Inggris menjalankan sistem dua kamar, antara lain untuk tetap memelihara kehadiran perwakilan kaum bangsawan, disamping rakyat umum.
Sistem dua kamar di Amerika Serikat merupakan hasil kompromi antara Negara bagian yang berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit.
Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua kamar (bicameral). Akan tetapi, dari susunan yang menyebutkanterdiri darianggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD.
Salah satu konsekuensi gagasan dua kamar perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan tersebut. Nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua kamar di Indonesia tetap menggunakan Majelis Permusyawaratn Rakyat (MPR). Sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai nama sistem dua kamar,MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan yang memiliki lingkungan wewenang sendiri.
Dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan baru dalam UUD 1945, tidak tampak perwujudan gagasan sistem dua kamar. Alasannya, Pertama, walaupun ada perubahan, MPR tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri. Kedua, sepintas lalu, DPD merupakan lingkungan jabatan yang mandiri dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Ketiga, DPD bukan badan legislatif penuh.
Perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural. Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan dasar. Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif dalam perubahan UUD 1945. Keempat, dengan diadopsinya prinsip pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
Perubahan mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2). Hal tersebut menimbulkan reaksi keras dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok Purnawirawan ABRI, dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai, hal tersebut meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat.. Akan tetapi pandangan itu ditolak oleh sebagian kelompok yang lain, eksistensi MPR tidak akn hilang, tetapi berubah fungsi sebagai forum dan bukan sebagai lembaga.
Hingga kini, perwujudan sistem perwakilan di Indonesia dalam bentuk MPR memberikan kesan Indonesia menganut sistem unicameral berciri bikameral. Unikameral berciri bikameral tak cukup meyakinkan untuk menjelaskan watak parlemen Indonesia.
Perubahan UUD 1945 terhadap pasal 3 rumusan baru berbunyi sebagai berikut :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
2)      Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik presiden dan/atau wakil presiden.
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentika presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan ketentuan baru ini, secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertiksal hierarki dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga Negara (checks and balances).
Perubahan UUD 1945 juga terjadi pada pasal 37 yang mengatur mekanisme perubahan UUD, rumusannya berbunyi sebagai berikut :
1)      Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2)      Setiap usul perubahan UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3)      Untuk mengubah paspal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4)      Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
5)      Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar